1. Shalat
Tahajud
A. Hukum dan Keutamaan :
Allah SWT berfirman dalam
kitab-Nya yang mulia:
ومن الليل فتهجد به نافلة لك عسي أن يبعثك ربك مقاما محمودا
“Dan pada sebagian malam, bershalat tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu
ke tempat yang terpuji” (Al-Isra :
79). Walaupun ayat ini diperintahkan khusus untuk Rosulullah, tetapi semua umat
islam juga termasuk kedalamnya, karena mengikuti ajaran Nabi adalah wajib.
Pelaksanaannya adalah sunnah muakkad, bahkan menjadi wajib bagi Nabi.
Shalat
tahajud adalah shalat yang sangat dikenal oleh semua umat islam, tidak ada yang
meragukan keharusannya dan keutamaan-keutamaanya. Shalat tahajud sangat baik
untuk psikologi jiwa, kesehatan, menghapus
dosa-dosa yang dilakukan siang hari, menghindarkannya dari kesepian dialam
kubur, menjaminkan baginya kebutuhan hidup, dan juga menjadi hiasan di surga,
dan masih banyak lagi.[1]
B. Sunnah yang dilakukan sebelum Shalat Tahajud:
1.
Berniat
sebelum tidurnya untuk mendirikan shalat malam
2.
Menghilangkan
bekas tidur diwajahnya, bersiwak dan
memandang ke langit kemudian berdoa dan membaca surat Al-Imran ayat 19.
3.
Membuka
shalat tahajud dengan dua rakaat shalat iftitah. Hadist dari Abu Hurairoh bahwa
Rosulullah bersabda : “Jika seseorang dari kamu bangun di malam hari, maka
bukalah shalatnya dengan dua rakaat yang ringan” (HR. Muslim)
4.
Membangunkan
keluarganya untuk shalat bersama
5.
Untuk
meninggalkan shalat dan berhenti sejenak jika mengantuk, dan melanjutkannya
lagi ketika kantuknya telah hilang.
6.
Tidak
ragu-ragu dan melaksanakan shalat sebanyak kemampuan yang ia miliki.
C.
Waktunya
:
Shalat tahajud boleh dikerjakan di awal, pertengahan atau
akhir malam. Ini semua pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik -pembantu Nabi – mengatakan : “Tidaklah
kami bangun agar ingin melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di
malam hari mengerjakan shalat kecuali pasti kami melihatnya. Dan tidaklah kami
bangun melihat beliau dalam keadaan tidur kecuali pasti kami melihatnya pula.”
(HR. Bukhori, Ahmad, dan Nasa’i).
D. Waktu
Utama untuk Shalat Tahajud
Waktu utama untuk shalat malam adalah di akhir malam. Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Rabb
kami -Tabaroka wa Ta'ala- akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika
tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah berfirman, “Siapa yang memanjatkan
do'a pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka
Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan
ampunan untuknya” (HR. Jama’ah)
E. Jumlah
Raka’at :
Shalat tahajud tidak memiliki jumlah rakaat yang khusus. Jumlah
raka'at shalat tahajud yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13
raka'at. Dan inilah yang menjadi pilihan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Aisyah mengatakan : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya
lebih dari 11 raka'at. Beliau melakukan shalat empat raka'at, maka jangan
tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat empat
raka'at lagi dan jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau
melakukan shalat tiga raka'at.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11
raka'at namun dengan raka'at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20
raka'at atau 36 raka'at atau kurang dan lebih dari itu. Mereka tidak bermaksud
menyelisihi hadist dari Aisyah tersebut. Tetapi yang mereka inginkan
adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu
mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri lama) dan sedikit tidur.
Seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an :
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا
يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)[2]
F.
Qodho' Shalat Tahajud
Bagi
yang luput dari shalat tahajud karena udzur seperti ketiduran atau
sakit, maka ia boleh mengqodho'nya di siang hari sebelum zuhur. Aisyah mengatakan : “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau luput dari shalat malam
karena tidur atau udzur lainnya, beliau mengqodho'nya di siang hari dengan
mengerjakan 12 raka'at.” (HR. Jama’ah).
2. Shalat Duha
A. Hukum dan Keutamaan :
Shalat Dhuha termasuk ibadah mustahab dan
sangat dianjurkan. Rosullullah menjelaskan kepada ummatnya keutamaan shalat Dhuha
dalam hadist-hadist sohih, salah satunya yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa
nabi barsabda : “Tiap tualng-tulang sendi manusia membutuhkan sedekahnya di
tiap pagi. Tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid sedekah, tiap-tiap
tahlil sedekah, dan tiap-tiap takbir sedekah. Menyeru ma;ruf adalah
sedekah,mencegah munkar adalah sedekah. Semua itu sama nilainya dengan dua
rakaat shalat Dhuha” (HR. Muslim).
Tidak salah jika Rosulullah
mewasiatkan kepada kepada sahabat Abu Hurairah untuk tidak meninggalkan shalat
Dhuha karena selain memiliki banyak keutamaan, juga merupakan simbolik dari
rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya. Dua rakaatnya senilai dengan 360 pahala sedekah.
Hukumnya sunnah muakkad
menurut tiga imam kecuali Malikiyah yang menetapkannya sebagai mandubah nadaban akiidan, atau amalan ibadah
biasa.
B. Waktu dan Bilangan Rakaat
Shalat Dhuha memiliki waktu
tertentu, yaitu ketika matahari naik sepenggalan hingga zawal (masuk
waktu dzuhur). Tetapi dianggap paling baik
untuk melaksanakannya di seperempat siang, atau ketika matahari telah meninggi
dan memanas.
Jumlah rakaatnya paling sedikit adalah dua dan
paling banyak delapan rakaat, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, dan ini yang
paling masyhur. Pendapat lain mengatakan, rakaat terbanyak adalah enam belas.
Ada juga yang berpendapat bahwa bilangan rakaat yang paling afdhol adalah 4
rakaat dengan hadist dari Aisyah, ia berkata : “Rosullullah SAW shalat Dhuha
sebanyak 4 rakaat, dan menambahnya sesuai yang dikehendaki Allah” ( HR.
Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah).
3. Shalat
Taubah
Shalat Taubah dalah shalat sunnah yang
dilaksanakan ketika seseorang menyesali dosa-dosanya dan bertaubat kepada Allah
SWT. Shalat Taubah dilaksanakan sebanyak dua raka’at dengan waktu yang tidak
ditentukan. Rosullulah SAW menjelaskan tentang shalat ini dalam hadist yang
diriwayatkan dari Abu Bakar ra. Ia berkata : “Aku mendengar Rosullullah
bersabda : Siapapun yang melakukan dosa, kemudian berdiri, bersuci, lalu shalat
kemudian memohon ampunan kepada Allah, maka pasti akan diampuni”. Kemudian
Rosullullah membaca ayat suci Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 135-136.”
(HR.Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Tirmidzi).
Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan,
bahwa Abdullah bin Buraidah berkata dari ayahnya : Rosullulah memanggil
Bilal di suatu hari dan bertanya kepadanya, “Amalan apa yang engkau lakukan
sehingga engkau mendahuluiku masuk ke dalam surga? Sesungguhnya semalam aku memasuki surga dan mendengar
bunyi tapak kakimu dihadapanku. Bilal menjawab, “Wahai Rosullullah, tidaklah
aku melakukan dosa melainkan aku akan shalat dua rakaat, dan tidaklah aku
berhadas melainkan aku akan bersuci karenanya”.(HR. Ahmad dan Tirmidzi)[3]
4. Shalat
Istisq0
A. Hukum dan Sunnah sebelum shalat.
Shalat Istisqo adalah shalat sunnah muakkad
dalam keadaan membutuhkan air atau hujan dengan azan tanpa iqomah. Waktu
pelaksanaannya tidak di tentukan, boleh kapan saja kecuali waktu istiwaa’. Sebelum
melaksanakan shalat ini, imam atau orang yang paling mengerti agama disunnahkan
untuk :
·
Menyuruh masyarakatnya untuk bertaubat, bertaqwa,
bersedekah dan menjauhi kemaksiatan.
·
Berdamai dengan musuh dengan kesepakatan tiga
pemimpin kaum.
·
Setelah itu melaksanakan puasa selama tiga hari berturut-turut,
kemudian pada hari ke empat berbondong-bondong menuju lapangan atau tempat
berbuka. Juga dianjurkan untuk memakai pakaian sederhana dan bersih, sebagai
bentuk kehinaan dan memohon pertolongan Allah SWT
·
Mulai dari anak kecil, orang dewasa, orang tua, dan
yang lemah ikut keluar melaksanakan shalat. Selaion itu juga membawa serta
binatang ternak.
B. Cara Pelaksanaan.
Cara pelaksanaannya pertama-tama membaca niat
shalat, kemudian taakbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat
terakhir, seperti pada shalat Ied. Berta’awudz dan dilanjutkan dengan membaca
Al-Fatihah, surat Al-A’laa di rakaat pertama, dan surat Al-Ghosyiah di rakaat
kedua. Kemudian imam membacakan dua khutbah seperti pada shalat Ied, tetapi
tidak bertakbir melainkan beristighfar sebanyak 9 kali di tiap khutbah. Ketika khutbah selesai, imam memalingkan
wajah kearah kiblat, mengangkat tangan dan membalikkan selendang yang sebelah
kanan ke sebelah kiri dan selendang sebelah kanan ke kiri, setelah itu mulai
berdo’a bersama-sama.
Hadist dari Abu Hurairoh, ia
berkata : “Suatu hari Rosulullah keluar untuk meminta hujan, kemudian shalat
bersama kami dua raka’at, dengan azan dan tanpa iqomah, kemudian berkhutbah
untuk kami, lalu berdo’a, menghadapkan wajahnya ke arah kiblat, mengangkat tangannya,
dan membalikkan selendangnya, kanan ke kiri dan kiri ke kanan” (HR.Ahmad,
Ibnu Majah, Baihaqi).
5. Shalat Jenazah.
A) Hukum dan keutamaan
Para ulama fiqh telah sepakat bahwa hukum shalat
janazah adalah fardhu kifayah, jika sebagian muslim telah melaksanakannya, maka
yang lain tidak diharuskan melaksanakannya lagi. Hukum
ini ditetapkan atas perintah Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan shalat atas
mayit setelah mengurus semua hutang-hutangnya jika ia memiliki hutang,
berdasarkan hadist :
Rosulullah SAW bersabda : "Shalatlah atas saudaramu"
(HR. Bukhori, Muslim, dan Abi Hurairoh).
Dimakruhkan
melakukan pengulangan dalam shalat jenazah jika shalat pertama telah
dilaksanakan dengan jama’ah. Tetapi jika shalat pertama munfarid, menurut
Hanafiyah dan Malikiyah, maka hukumnya mandub mengulang shalat dengan jama’ah
untuk mayit yang belum dikubur. Sedangkan Syafi;iyah mensunnahkan untuk
mengulang dan ikut berjama’ah, walaupun sudah dikubur. Dan Hanabilah
membolehkan.
Rosullullah juga menjelaskan keutamaan shalat atas
mayit atau jenazah. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda : Barang
siapa yang mengantarkan jenazah dan menyolatinya, maka baginya ganjaran satu qirad[4],
dan siapa yang mengantarkannya sampai berpisah darinya (sampai mayit dikubur),
maka baginya dua qirad, satu qiradnya sebesar gunung Uhud" (HR.Bukhori).[5]
B) Rukun-rukun shalat
1. Niat.
Niat termasuk rukun menurut Malikiyah dan
Syafi’iyah, sedangkan menurut hanafiyah dan Hanabilah merupakan syarat.
2. Berdiri bagi yang mampu.
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa berdiri merupakan
rukun shalat jenazah, dan tidak sah bagi yang melaksanakan shalat dengan duduk
tanpa ada udzur.
3. 4 Takbir.
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhori, Muslim, dan Jabir bahwa nabi melaksanakan shalat atas seorang Najasyi
dengan empat takbir. Adapun hukum mengangkat tangan ketika takbir adalah
sunnah, karena tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi mengangkat
tangannya ketika takbir, kecuali di takbir yang pertama.
4. Membaca Fatihah didalam hati.
5. Salawat kepada Nabi.
Bentuk salawat kepada nabi bisa bermacam-macam,
walaupun hanya membaca “Allahumma shalli ala Muhammad”, maka dianggap cukup.
6. Do’a untuk mayit.
Ulama fiqh telah sepakat bahwa do’a untuk mayit
adalah rukun, sedangkan tempat dan bacaannya berbeda-beda.[6]
7. Salam.
Salam setelah takbir keempat merupakan rukun
menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanafiyah, sedangkan menurut Hanabilah
merupakan wajib seperti pada shalat-shalat biasanya.
C) Syarat-Syarat Shalat
Jenazah[7]
1) Mayit harus muslim.
Diharamkan shalat atas mayit kafir. Allah
berfirman di dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah sekali-kali engkau mensholatkan
(jenazah) seorang dari mereka” (At-Taubah: 84)
2) Mayit harus hadir (tidak
ghoib)
3) Mayit harus selesai
dimandikan
4)
Mayit harus berada di depan musholliin
Kecuali Malikiyah, hukum meletakkan mayit di depan
musholliin adalah mandub.
5) Mayit tidak boleh berada di
tunggangan hewan atau manusia
Tetapi Malikiyah dan Syafi’iyah memperbolehkan
untuk shalat atas mayit yang berada di atas tunggangan.
6) Mayit bukan seorang Syahid.
Hanafiyah berpendapat bahwa mayit tidak dimandikan
tetapi wajib dishalatkan.
7) Adanya
anggota badan mayit yang harus dimandikan.
Menurut hanafiyah, mayit tidak
wajib dimandikan kecuali jika ada sebagian besar anggota tubuhnya, atau
setengahnya dengan kepala. Sedangkan menurut Malikiyah, sepertiga dari tubuh
mayit beserta kepala, lebih sedikit dari itu maka hukum memandikannya makruh.
Untuk Musholli, berlaku untuknya seperti syarat
dalam shalat pada umumnya. Dan tidak disyaratkan dilaksanakan pada waktu
tertentu.
D) Cara
Melaksanakan Shalat Jenazah dan Tempat Berdiri ketika Shalat
a) Mazhab Hanafiyah
Musholli berdiri diujung dada
mayit lalu berniat shalat jenazah. Setelah itu takbirotul ihram dengan mengangkat
tangan, membaca Al-Fatihah, dan bertakbir tanpa mengangkat tangannya.
Dilanjutkan dengan bersalawat kepada Nabi dan takbir ketiga tanpa mengangkat
tangan. Kemudian membaca do'a untuk mayit dan muslimin, takbir ke empat tanpa
mengangkat tangan dan salam kekiri dan kanan.
b) Mazhab
Malikiyah
Musholli berdiri di sisi
kepala mayit laki-laki, dan ditengah badannya untuk perempuan. Dalam
pelaksanaannya hampir sama dengan mazhab Hanafiyah. Hanya saja salam cukup
sekali kekanan. Dimandubkan untuk menyembunyikan bacaan selain imam.
c) Mazhab
Syafi’iyah
Musholli atau imam berdiri di
sisi kepala mayit laki-laki dan dipinggang untuk erempuan. Kemudian berniat
shalat jenazah dengan hati dan lafadz melalui lisan. Dilanjutkan dengan
takbirotul ihram dengan mengangakat tangan dan membaca Al-Fatihah. Selanjutnya takbir kedua dan bersalawat seperti bacaan tahiyat, lalu takbir ke tiga dan
membaca do’a untuk mayit. Selanjutnya takbir ke empat dan berdo’a. Trakhir salam ke kanan dan kiri. Tangan diangkat pada setiap takbir.
d) Mazhab
Hanabilah
Mazhab Hanafiyah sama dengan
Syafi’iyah, perbedaannya hanya satu, yaitu setelah takbir ke empat, musholli
berhenti sejenak tanpa membaca do’a kemudian salam ke kanan saja, atau
keduanya.
E) Shalat
untuk Mayit yang Lebih dari Satu
Jika mayit lebih dari satu dan
terdiri dari laki-laki dan perempuan yang belum dewasa, maka diletakkan
berbaris diantara imam dan kiblat, setelah itu shalat atas mereka satu kali
shalat. Jika laki-laki dan perempuan dewasa maka boleh melaksanakan shalat
dengan memisahkan. Boleh juga dengan menggabungkan dalam satu kali shalat,
mayat laki-laki diletakkan di depan imam, dan mayat perempuan dibelakang
kiblat.
F) Permasalahan
Seputar Takbir
a. Jika
takbir imam lebih atau kurang :
Menurut Syafi’iyah dan
Hanafiyah, jika imam takbir lebih dari empat kali, maka ma’mum menunggu dan
salam bersama imam, shalat dinilai sah. Kemudian jika kurang dengan disengaja
maka shalat batal, kecuali jika tanpa kesengajaan.
Di mazhab Malikiyah, ma’mum
dimakruhkan menunggu imam yang membaca takbir lebih dari empat, tetapi salam
mendahului imam dan shalat dinilai sah. Kemudian jika kurang dengan sengaja
karena mazhabnya mengajarkan seperti itu, maka ma’mum melanjutkan takbir ke empat
dan shalat sah. Tetapi jika sengaja tanpa alasan maka shalat menjadi batal.
Mazhab Hanabilah memberi
keluasan sampai tujuh kali takbir, lebih dari itu maka makmum harus
memperingatkan imam dan tidak boleh salam sebelum imam, shalat dinilai sah.
Kemudian jika kurang, maka ma’mum
memberi peringatan, dan jika disengaja maka shalat batal.
b. Jika
masbuq :
Saat mam’mum masbuq di shalat
jenazah, maka di istihabkan untuk mengqodo takbir, tetapi tidak pun tak menjadi
masalah. Diriwayatkan oleh Aisyah, dia berkata kepada Rosulullah : “Ya,
Rosulallah, aku telah shalat jenazah, tetapi ada sebagian takbirku yang
kosong”. Nabi berkata : “Jika kamu tidak mendengar (takbir imam) maka
takbirlah, jika kamu tertinggal (masbuq) maka kamu tidak harus mengqodo”
(HR. Ahmad)
G) Shalat Jenazah untuk Janin
yang Keguguran
Untuk janin yang belum mencapai usia 4 bulan,
Jumhur fuqoha sepakat untuk tidak
dimandikan dan tidak dishalatkan. Tetapi jika telah mencapai umur 4 bulan atau
lebih dan telah ditiupkan ruh, maka dimandikan dan dishalatkan. Ahnaf, Malik,
Auza’I dan Hasan tidak mengharuskan shalat untuk janin yang belum memiliki ruh,
berdasarkan hadist Nabi : Dari Jabir, Rosullullah bersabda, “Jika janin
telah ditiupkan ruh,maka shalatlah atasnya dan berilah hak waris” (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Baihaqi). Rojihnya, janin tetap harus dishalatkan
karena Nabi telah menjelaskan bahwa di umur 4 bulan,janin telah memiliki ruh.
H) Shalat Ghoib
Shalat ghoib adalah shalat untuk mayit yang
berada di tempat lain,baik dekat maupunjauh,
atau telah dikuburkan. Cara pelaksanaannya pun sama dengan shalat
jenazah, yaitu dengan 4 takbir dan berdo’a untuk mayit. Boleh dilaksanakan
sendiri ataupun jama’ah dan dilaksanakan kapan saja.
No comments:
Post a Comment