Bagi setiap anak, sosok ibu adalah pahlawan terhebat, guru
paling pintar seluruh dunia, teladan yang tiap tindak tanduknya layak ditiru,
dan sahabat terbaik sepanjang masa. Begitu juga dengan ibuku, wanita yang
paling aku rindukan saat bahagia, apalagi sedih. Hubungan kami sebenarnya tidak
mesra, kami tidak terbiasa berpelukan atau memberikan ciuman kasih sayang, juga
jarang berbicara dari hati ke hati. Tetapi lewat caranya menatapku saja aku
tahu, bahwa ialah wanita yang paling mengerti aku.
Saat sekolah TK, aku tinggal dengan nenek, tak banyak
cerita yang aku ingat bersama ibu. Saat SD, aku lebih senang menghabiskan waktu
dengan teman-teman. Lulus SD, aku masuk ke pondok pesantren yang akhirnya
membuat jarak kami terpisah jauh. Saat itulah aku benar-benar merindukan sosok
ibu, aku merasa sendiri dan asing. Aku terkadang iri melihat teman-temanku yang
bisa berjumpa dengan ibunya seminggu sekali, bisa bercerita tentang apa saja,
menangis dipelukannya dan dinasehati dengan kata-kata indah tiap kali bertemu.
Aku bertekad, saat aku berjumpa dengan ibuku dua bulan kedepan nanti, aku akan
menceritakan semua kisahku dan aku akan memeluknya erat sekali.
Tetapi anehnya, hanya pertemuan kami yang pertama yang bisa
seperti itu. Pertemuan seterusnya, kami hanya mengobrol tentang hal-hal biasa.
Pertemuan kami yang sangat jarang, dan ketidak biasaan kami untuk saling
terbuka membuat kami hanya bisa mengerti dengan cara masing-masing.
Pernah suatu ketika aku menangis semalaman di rumah, aku
menceritakan semua penyebab tangisanku dibuku harian dan membiarkan buku itu
tetap terbuka disampingku. Aku ingin saat aku tidur ibuku masuk , membaca
buku itu dan mengetahui semua masalahku,
lalu ketika aku bangun nanti, ibuku akan menenangkanku dengan nasehat dan
senyum manisnya. Tetapi malam itu aku harus kecewa,karena saat masuk kekamarku
ibu tak menyentuh buku itu, ia hanya berdiri menatapku, mematikan lampu kamar
dan keluar. Aku menangis lagi sampai tertidur.
Saat itu aku masih labil, remaja yang masih mencari jati
diri, yang sensitif dengan apa saja. Aku merasa tak mendapat kasih sayang yang
layak, aku semakin menutup diri dengan ibuku. Aku pernah punya teori sendiri,
bahwa anak yang tidak mudah dekat dengan orang lain, yang pendiam dan tertutup,
adalah anak yang tidak pernah berkomunikasi aktif dengan orang tuanya. Sebuah
teori asal memang.
Semakin menginjak dewasa, aku menyadari sebuah perubahan.
Ibuku mulai bercerita tentang masalahnya, dan mulai bertanya tentang masalahku.
Tapi yang kulakukan hanya mendengarkan cerita ibuku dan mengalihkan pembicaraan
dengan semakin banyak bertanya, sampai akhirnya aku tak harus bercerita
apa-apa. Aku tidak biasa terbuka dengan
ibuku, aku memiliki masalahku sendiri dan aku juga menyelesaikannya dengan
caraku sendiri. Saat aku menangis dan ibuku
bertanya kenapa, aku hanya menggeleng dan tersenyum. Sekarang alasanku tak ngin
bercerita bukan karena aku tak mau, tetapi karena aku tahu aku sudah dewasa dan
tak seharusnya menambah beban ibuku dengan masalahku yang sepele.
Ibuku memang tidak terbiasa memelukku dan memberi nasehat
menyejukkan. Tetapi beliau mengajari ku langsung dengan tindakannya bagaimana
cara bersabar, menghadapi kehidupan dan membagi waktu untuk keluarga dan
pekerjaan. Tahun-tahun yang dilalui ibu sebagai kakak dari adik-adiknya
mengajariku arti besar dari sebuah tanggung jawab. Ibuku memang tak pernah
memintaku bercerita dari hati ke hati, tetapi beliau mengetahui semua
tentangku, bahkan yang tak aku ingat. Ibuku tak pernah menjanjikan apapun,
tetapi semua yang aku minta ia berikan. Kasih sayangnya terlalu besar untuk
anak-anaknya, ibuku hanya terkdang tak tahu cara menyampaikannya agar aku,
anaknya yang masih egois ini, merasa puas. Memang aku menyadari, bahwa aku
harus berani memulai.
Karena itu jika ditanya, kisah apa yang paling manis bersama
ibuku yang tidak bisa aku lupakan, maka jawabanku adalah semua kisah yang
pernah kami lalui bersama, yang bisa diingat oleh memoriku, semua adalah kisah
terindah yang tidak akan aku tukar dengan apapun. Karena sekarang aku mengerti,
apapun yang ibuku lakukan adalah cara terbaiknya untuk menunjukkan kasih
sayangnya kepadaku.
Aku pernah melakukan kesalahan besar. Saat itu aku kelas 5 di
pondok, liburan aku pulang ke Lampung bersama rombongan konsulat dengan
bus Damri. Rombongan kami akan tiba di Islamic Center Lampung pada pagi hari,
disana orang tua akan menjemput kami sampai ke rumah. Tetapi saat itu aku belum
mau pulang, ada urusan yang berhubungan dengan konsulat yang memaksaku untuk
menginap dua hari di Bandar Lampung, di rumah temanku. Aku memang sudah
mengabari keluarga dan sudah mendapat izin.
Dua hari kemudian, seharusnya aku pulang ke rumah, tetapi
saat itu hujan deras dan aku belum pernah bepergian sendiri. Terpaksa aku
menginap satu malam lagi di rumah temanku. Kesalahan besarku adalah tidak
memberi tahu pihak keluarga, dan aku tidak khawatir sama sekali dengan itu.
Keesokan paginya aku pulang dengan mengendarai bus, kemudian aku naik ojek
karena niat mampir ke rumah nenek sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah.
Menjelang asar, aku baru melanjutkan perjalanan ke rumah.
Sesampai di rumah, ayah dan ibuku marah besar. Ayahku
memarahiku dan menasehatiku macam-macam. Aku meminta maaf kepada ayah dan masuk kekamar dengan perasaan
menyesal. Ibuku hanya diam saja, aku juga tak meminta maaf kepadanya. Ah..aku
memang remaja yang sangat egois saat itu.
Keesokan harinya, aku baru tahu bahwa ibuku sebenarnya
menangis karena khawatir. Aku semakin merasa menyesal, lebih menyesal lagi
karena aku pikir ibuku mungkin tak menghawatirkanku. Tetapi sebenarnya, ibu tak
mau aku semakin sedih karena telah dimarahi ayah. Selanjutnya aku bingung
sendiri bagaimana cara meminta maaf, yang kulakukan kemudian mencari-cari
kesempatan agar bisa berbicara berdua. Walaupun akhirnya aku bisa meminta maaf,
aku masih merasa bersalah karena ibuku memaafkanku dengan begitu mudah.
Seharusnya aku layak diomeli sampai menangis.
No comments:
Post a Comment