Namaku Ardhi, tepatnya Ardhi Rahman, umur 17 tahun dan sekarang kelas 2 SMU di Fajar Harapan. Aku anak tunggal, tidak punya adik apalagi kakak. Karena itu jangan heran kalau semua kasih sayang orang tuaku sepenuhnya tercurahkan hanya untukku. Dan tentu saja karena itu aku sadar bahwa sebagai satu-satunya titipan Allah, aku harus menjadi anak baik yang setidaknya bisa membuat orang tuaku puas hanya dengan memilki satu keturunan,
Aku
lelaki baik-baik, tidak merokok, tidak pernah ikut tawuran, tidak keluar rumah
di atas jam 10 malam untuk tujuan tidak jelas, dan tidak pernah dapat nilai
jelek di raportku. Selain itu aku sering membantu Ibu walaupun sekedar menyapu
rumah, halaman, menyiram tanaman, mencuci piring, dan memotong rumput 2 minggu
sekali.
Aku
lelaki baik-baik.
Oke,..
Walaupun
aku tidak pintar mengaji, tetapi aku bisa membaca Al-Qur’an dan aku tidak lupa
kewajibanku sebagai muslim, shalat 5 waktu. Aku berusaha memenuhi rukun Islam
dan Iman, bahkan jika bisa aku akan menjalankan semua Dasa Dharma dan Tri Satya
Pramuka.
Apa
lagi ??
Baiklah,
aku lelaki setia
Sumpah
!!
Aku
tidak akan menghianati wanit ayang aku cinta dengan menduakannya. Aku piker itu
hanya perbuatan memalukan dari seorang lelaki yang tidak bisa tegas dengan
dirinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang tidak tahu apa arti dari
semua tindakan yang ia lakukan. Lelaki yang tidak bisa menjadi pemimpin untuk
dirinya sendiri, padahal sebagai lelaki ia dituntut untuk bisa memimpin dan
menentukan tujuan serta arah hidupnya. Lelaki harus berani memilih dan
bertanggung jawab atas pilihan yang ia ambil.
Begitulah…
Karena
itu aku tidak pernah ambil pusing dengan komentar-komentar orang lain tentang
aku dan hidupku, juga tidak ketika menurut teman-temanku aku tidak berbeda
dengan banci. Terserah mereka. Semua orang punya persepsi masing-masing tentang
lelaki sejati.
Dan
aku akan menjadi lelaki sejati dengan caraku sendiri.
Karena
itu saat ini aku menangis
Aku
menangis karena aku lelaki
Aku
menangis karena aku berani bersikap
Aku
menangis karena aku bisa mengalah
Aku
menangis karena mungkin benar yang terindah belum tentu terbaik
Aku
menangis sambil duduk diam memandangi laut yang tenang
Tenang
dan hidup…
#
# #
“Kucing
jelek !”
Aku
menghela napas kesal, tapi dengan senyum tertahan, meninggalkan film faforitku
untuk membuka pintu kamar. Tamu yang tidak asing dan tidak bisa dipungkiri
karena hanya dia yang mempunyai pasword seperti itu. Pasti sekarang dia sedang
berdiri dibalik pintu kamarku sambil menyilangkan dua tangannya dan nyengir
lebar.
Kreekk…
“Ngapain
lo ?!!”, tanyaku pura-pura marah
Dia
tertawa memperlihatkan dua lesung pipitnya yang membuatnya semakin manis
dimataku, “Galak sekaleee…!!”, ujarnya dan masuk melewati tubuhku yang tinggi
dan kurus.
“Lagi
ngapain, sih, Dhi, sore-sore gini ?”, tanyanya, tetapi aku tak perlu menjawab
karena kemudian dia sudah berseru keras ketika melihat film yang sedang aku
pause dilayar komputerku.
“Ya
ampuuun…!! Film Conan lagi ??! Ga’ bosen-bosen banget, sih..!!”
Aku
nyengir lebar, “Emang kenapa ? Terserah gue, dong..”, ujarku dan duduk ditepi
tempat tidurku.
“Kenapa,
sih, lo masih suka nonton filmnya? Kan lo dah punya komiknya semua??”
“Beda,
Ran..”, ujarku sambil tersenyum, “Film sama komik efeknya beda, lo ngerti,
lah…kalo film lebih live, emosi pemainnya juga bisa lebih gue rasain, selain
itu…gue emang suka banget sama filmnya, ada sensasi tersendiri kalo gue nonton”
Dia
mendengus, “Terserah, deh..”, katanya sambil mengangkat bahu, “Gue mau liat PR
Kimia lo, dong, Dhi..”, lanjutnya dan mendekati meja belajarku, setelah
menemukan buku tulis Kimiaku yang memang tergeletak di atas meja, ia
membalik-baliknya. Beberapa saat tidak terdengar suara dari mulutnya, aku pikir
dia pasti sedang mempelajari PR ku, jadi aku memilih untuk menonton lagi.
“Dhi,…”, panggil Ran
tiba-tiba, suaranya pelan.
Aku
yang sedang melanjutkan filmku langsung menoleh. Jantungku berdetak cepat
melihat ekspresi wajahnya yang datar, ia menunduk membalik-balik buku tulisku
tetapi seolah ia tidak sedang ada disana.
“Kenapa,
Ran..??”
“Hmmm…”,
ia terlihat bimbang, “Ada yang mau gue certain ke lo, sih, sebenarnya…tapi….”
Aku
langsung berdiri dari dudukku dan menatapnya kesal, “Kenapa, sih, lo?! Kaya
sama orang laen aja !!”
Ia
mengangkat wajahnya dan terlihat kesal telah aku bentak seperti itu, “Entar gue
juga cerita, kok !! Ga’ usah marah-marah, dong”
“Sory,
Ran...”
“It’s
oke”, potongnya cepat dan langsung tersenyum manis, “Ga’ penting-penting
banget, kok…nanti gue ceritain, deh..sekarang gue pulang dulu, ya..buku
Kimianya gue pinjem, oke??”
Aku
mengangguk sambil tersenyum lega. Sumpah ! aku benar-benar menyesal telah
membentaknya seperti itu, untunglah dia tidak memperpanjang masalah. Lagipula
seharusnya aku sadar bahwa dia tidak akan menyembunyikan sesuatu dariku.
Rahasianya adalah rahasiaku juga, dan masalahnya pun adalah masalahku yang
harus aku selesaikan dengan segala usaha yang pasti akan aku lakukan untuknya.
“Salam
buat Tante, Om,Krisna, Li,..”
“Oke,
oke…”, potongnya sambil tertawa, “Pasti gue sampein buat semuanya,
oya,..sebenernya Tante Ida nyuruh gue bawa lo keluar, soalnya lo ngurung diri
sore-sore gini, he..he..”
Aku
ikut tertawa. Dia keluar dari kamarku dengan senyum lebar dan lesung pipitnya
yang dalam. Aku menutup pintu kamar dan langsung menghempaskan tubuhku di atas
tempat tidur dengan senyum yang aku biarkan mengembang di wajahku.
Dyah Sekar Rani. Rani yang manis dengan
lesung pipit, rambut panjang hitam yang selalu diikat ke belakang, yang
cerewet, berani tetapi gampang menangis dan pintar. Lebih pintar dari aku
malah. Dia selalu masuk tiga besar yang punya rutinitas menerima piala
penghargaan tiap tahunnya dari sekolah. Satu-satunya pelajaran yang membuatku
lebih unggul darinya hanya pada pelajaran Kimia, karena itu dia sering melihat
bukuku untuk dipelajari lagi, lebih gampang dimengerti, ujarnya. Dia ramah,
baik, pengertian tetapi terkadang galak. Banyak yang menyukainya, aku pikir. Tetapi tenang saja.
Karena dari beberapa orang
lelaki yang menyukainya, akulah yang paling beruntung. Dari kecil sampai
sekarang, akulah lelaki yang paling sering melewatkan waktu dengannya. Aku tahu
semua tentang Rani. Apa saja ! Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Orang
pertama ketika aku paham arti dari kata “teman”. Waktu kecil aku pernah tidur
sekamar dengannya, tetapi itu dulu, tentu saja, saat aku belum mengerti apa-apa
selain bermain. Rumah kami bersebelahan, karena itu sejak SD sampai SMU ini,
kami selalu berangkat ke sekolah bersama. Hingga sepertinya tidak berlebihan
jika aku berkata bahwa waktu Rani adalah waktuku juga.
Dia paling tidak suka
dengan ulat. Aku pernah menakut-nakutinya sampai dia menangis dan tidak mau
bermain denganku lagi selama dua hari. Akhirnya aku meminta maaf dengan
memberinya kado berisi boneka kucing yang imut, aku paling suka dengan kucing.
Tetapi ternyata dia malah berkata kucing itu jelek, kotor, bau dan jorok. Aku
marah dan langsung pulang kerumah. Rani melakukan hanya untuk membalas ulah
isengku. Karena ternyata boneka itu ia pajang ditempat paling istimewa
dikamarnya, sampai sekarang. Sejak saat itu, jika aku mau masuk ke dalam
kamarnya, aku akan menyebutkan kata “Ulat imut” sebagai password, dan dia
membalasnya dengan password “kucing jelek” untuk masuk ke kamarku. Aku tertawa
geli mengingat itu semua.
Jujur saja, aku menyukai
Rani lebih dari sekedar sahabat. Perasaan aneh yang selalu muncul setiap
kehadirannya, dan rasa sakit yang menyiksa jika dia tidak ada. Hari ku selalu
terasa kurang sempurna jika belum melihatnya dan memastikan bahwa dia baik-baik
saja. Telah bertahun-tahun aku memendam perasaanku untuknya, aku selalu merasa
belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahunya. Rani selalu merasa tidak
suka jika aku meledeknya dengan lelaki yang banyak memujanya. Itu membuatku
takut ia akan membenciku karena menodai persahabatan kami dengan perasaanku.
Mungkin aku hanya akan menyukainya, tidak ada wanita lain selama ini yang bisa
membuatku mencintai lebih dari rasa cintaku untuk Rani. Diam-diam aku telah
menaruh namanya yang indah kedalam daftar planning hidup yang telah aku
siapkan. Hidup ini harus mempunyai tujuan. Dan wanita tujuan hidupku adalah
dia.
Karena Rani pula aku
begitu menyukai cerita detektif karangan Aoyama Goso itu. Kisah cinta yang
indah dan sulit. Kesetiaan dan rasa saling percaya menjadi kunci dari hubungan
Sinichi Kudo dan Ran Mouri. Mereka tidak pernah saling memberitahu dengan kata
untuk perasaan mereka. Mereka saling mencintai dengan hati dan
naluri…Seperti cintaku untuk Rani.
# # #
Dua hari kemudian Rani
memberiku kejutan yang membuatku terpana dan tak bisa bergerak karena pesona
yang ia pancarkan. Pagi itu aku menunggunya di atas motor Honda bebekku untuk
menjemputnya pergi ke sekolah. Aku menoleh ketika mendengar suara langkah
kakinya yang begitu khas ditelingaku. Setelah itu aku hanya bisa terdiam dan
mulutku tak bisa mengeluarkan kata-kata, bahkan ketika ia bertanya untuk
meminta pendapatku.
“Gimana, Dhi..??Cocok ga’
buat gue ??”
Aku hanya bisa mengacungkan
dua jempolku untuknya. Mulai pagi ini aku tak akan bisa melihat rambut hitam
Rani lagi. Jilbab putih itu telah melindunginya dan membuatnya semakin anggun
dan dewasa. Aku merasa begitu kecil dihadapannya. Tubuhku seakan menciut kerena
keagungan dan keindahan yang ia tebarkan. Wuah…aku terlalu berlebihan…
Sepulang sekolah aku tak
bisa menyimpan perasaanku dan kabar gembira ini dari ibuku. Aku langsung
memeluk dan tidak peduli ketika ia tampak gelagapan karena tubuhku yang tinggi.
Aku tertawa dan wajah wanita yang paling aku cintai itu tampak berbinar, tetapi
matanya menunjukkan betapa ingin tahunya ia tentang apa yang terjadi padaku.
“Ada apa ini ?? Kok
tiba-tiba meluk-meluk ibu ?? kaya anak kecil, ah..”
“He..he..”, tawaku, “ Ibu
tau ga’, hari ini…Rani pake jilbab !!”, seruku gembira.
“Oya…??? Wah,..bagus
itu,..calon bu Ustad memang harus pakai jilbab, to ?, syukurlah…”
Aku berhenti tertawa,
keningku berkerut, apa maksud kata-kata ibuku, “Bu Ustad ?? Ustadnya siapa ??”
Ibuku tampak kaget, “Lho ??
Belum tau, to ?? Si Rani itu kan sudah dicalonin sama anaknya pak Khairuddin
yang lagi kuliah di Mesir...ibunya Rani
yang cerita ke ibu”
DWORR !!!
Aku merasa kepalaku
ditembak tiba-tiba oleh senjata mematikan. Kepalaku pusing, aku seakan tidak
berpijak di bumi. Untung aku bisa mengontrol diri dan emosiku, bagaimanapun
juga dihadapanku sekarang adalah wanita yang paling akan khawatir dengan
keadaanku. Aku membalikkan tubuh dan mencoba menyembunyikan wajah saat ibuku
bertanya dengan nada gelisah.
“kenapa to, le… ??”
“Ardhi capek,bu..mau
istirahat dulu”, jawabku tanpa menoleh dan berjalan lemah ke kamarku. Aku tidak
ingin bertemu dengan siapapun hari ini.
# # #
Aku melarikan motorku
dengan kencang. Tidak perduli dengan apapun lagi, bahkan dengan Rani yang sekarang
mencengkram tubuhku dari belakang dan berteriak ketakutan. Suaranya membuat
perasaanku semakin sakit dan menderita. Rasanya aku ingin berteriak sekencang
mungkin dan membentaknya agar dia diam. Tetapi yang aku lakukan hanya
menahannya sehingga rahangku mengeras dan keningku berlipat karena beban
perasaan yang aku pendam. Akhirnya ditempat yang aku tak tahu tepatnya dimana,
hanya padang luas disamping jalan dengan rumput-rumput tinggi, aku mengerem
motorku sambil membelokkannya. Rani langsung meloncat dari belakangku saat
motor benar-benar berhenti. Wajahnya memerah.
“Ardhi ! Lo kenapa sih ??
Klo mau bunuh diri jangan ajak-ajak gue, dong !!”, bentaknya marah, napasnya
memburu dan ia memang terlihat ketakutan.
Dadaku naik turun, sesak
yang menyakitkan. Aku masih menunduk menatap tanah dengan napas tersengal.
Rahangku masih mengeras dan aku tak pernah merasa semarah ini. Aku turun dari
motorku dan menatap Rani tepat dimatanya.
“Lo emang ga’ pernah
peduli sama gue !!”, teriakku, “Bulshitt lo bilang kita sahabat !! Bohong
semuanya !!!”, Aku benar-benar marah sekarang.
Rani tampak terkejut dan
memucat. Aku merasakan kepuasan tersendiri melihatnya ketakutan seperti itu,
walaupun ada bagian dari hatiku yang merasa takut, sakit dan ingin
melindunginya.
“Ardhi…lo kenapa ???”
“Kenapa !!”, Aku berteriak
berang, beraninya dia berpura-pura seperti itu. Idiot!!
“Ga’ usah pura-pura bego,
lo !! Kenapa lo ga’pernah ngasih tau gue ?? Lo sama sekali ga’ ngehargai gue !!
Lo ga’ pernah nganggep gue ada !! Lo itu bego, Ran !! Lo ga’ pernah bisa
ngertiin gue !!!”
Rani terisak dan aku
semakin benci melihatnya menangis seperti itu. Dasar cewek cengeng !! Memangnya
cuma dia yang merasa sakit saat ini ??
“Kenapa lo ga’ pernah
ngasih tau gue kalo lo…kalo lo dah dijodohin sama orang lain ?? Lo ga’
ngehargai gue, Ran….,lo jahat sama gue…..”,entah kenapa aku merasa letih dan tak mau mendengar apa-apa lagi darinya.
“Bukan gitu, Dhi…”, Rani
mencoba menjelaskan, tetapi aku malah mengangkat tanganku untuk menolak.
“Ardhi, dengerin gue…”,
ujar Rani memohon, “Gue ga’ bermaksud nyembunyiin dari lo, gue emang mau cerita
dari awal, tapi gue ga’ tau keputusan yang tepat itu seperti apa. Orang tua gue
ga’ pernah maksain gue, Dhi..tapi mereka minta gue mencoba buat kenal sama kak Yoga..”
“Namanya Yoga,huh !”,
dengusku
“Dia orang baik-baik, aku
kenal dia cuma lewat email dan chatting,..”
“Dan lo nyembunyiin
semuanya dari gue..??!!”
“Ardhi…gue punya alasan”,
Rani berujar tegas, “Dia tahu semua tentang gue, dia tahu perjodohan ini dari
kecil, dan dia bener-bener bisa ngertiin gue, Dhi..dia bisa menebak dengan
benar semua yang gue rasain, dan dia bisa jadi lebih dari seorang teman buat
gue, g..gue..gue merasa dia bisa menjadi imam yang baik buat gue, gue butuh dia
buat menuntun gue, Dhi…”
Aku muak dan ingin
berteriak mendengar semua kata-kata itu.
“Dan,..kenapa gue ga’ bisa
nyeritain semua ke lo karena…”, Rani menggantung ucapannya, membuatku menoleh
ke arahnya dengan perasaan bercampur
baur.
“Kak Yoga bilang…lo cinta
sama gue, ap..apa itu bener ??”
Aku merasa ditampar oleh
ucapan Rani itu. Aku kikuk, serba salah dan benar-benar merasa menjadi lelaki
paling memalukan didunia. Aku tidak bisa menggerakkan mulutku untuk menjawab
pertanyaan itu, bahkan aku sudah merasa kehilangan muka di depan Rani. Kenapa harus
lelaki itu yang pertama kali menyadari perasaanku pada Rani. Kenapa harus dia
????!!!!
# # #
Sekarang, disinilah aku
berada, di atas batu karang di tepi laut yang tenang. Angin sore memainkan
rambut dan pakaianku dan cahaya senja menghujani tubuhku dengan kehangatan
jingganya. Aku telah memutuskan, aku telah bersikap, dan aku berusaha yakin
telah melakukan yang terbaik. Hidup adalah pilihan, dan aku akan menerima semua
akibat dari pilihan yang aku putuskan.
Rani memang tidak menjadi
milikku. Tetapi aku bahagia telah memberikan yang terbaik untuknya. Lelaki itu
adalah lelaki untuk Rani, yang terbaik untuknya dan bisa menyempurnakan
hidupnya. Lelaki itu harus membahagiakan Rani untukku. Dan aku tidak akan
menyesali semuanya, seperti aku yang tak pernah menyesal memuja Rani, sahabatku,
yang akan selalu menjadi sahabatku.
Bawabah dua, 20 Desember
2008
No comments:
Post a Comment