Nusantara

Thursday, March 12, 2009

Laki-Laki untuk Ran


    Namaku Ardhi, tepatnya Ardhi Rahman, umur 17 tahun dan sekarang kelas 2 SMU di Fajar Harapan. Aku anak tunggal, tidak punya adik apalagi kakak. Karena itu jangan heran kalau semua kasih sayang orang tuaku sepenuhnya tercurahkan hanya untukku. Dan tentu saja karena itu aku sadar bahwa sebagai satu-satunya titipan Allah, aku harus menjadi anak baik yang setidaknya bisa membuat orang tuaku puas hanya dengan memilki satu keturunan,
Aku lelaki baik-baik, tidak merokok, tidak pernah ikut tawuran, tidak keluar rumah di atas jam 10 malam untuk tujuan tidak jelas, dan tidak pernah dapat nilai jelek di raportku. Selain itu aku sering membantu Ibu walaupun sekedar menyapu rumah, halaman, menyiram tanaman, mencuci piring, dan memotong rumput 2 minggu sekali.
    Aku lelaki baik-baik.
    Apalagi yang harus aku sebutkan untuk membuktikan bahwa aku lelaki baik-baik?
    Oke,..
   Walaupun aku tidak pintar mengaji, tetapi aku bisa membaca Al-Qur’an dan aku tidak lupa kewajibanku sebagai muslim, shalat 5 waktu. Aku berusaha memenuhi rukun Islam dan Iman, bahkan jika bisa aku akan menjalankan semua Dasa Dharma dan Tri Satya Pramuka.
    Apa lagi ??
    Baiklah, aku lelaki setia
    Sumpah !!
   Aku tidak akan menghianati wanit ayang aku cinta dengan menduakannya. Aku piker itu hanya perbuatan memalukan dari seorang lelaki yang tidak bisa tegas dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang tidak tahu apa arti dari semua tindakan yang ia lakukan. Lelaki yang tidak bisa menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri, padahal sebagai lelaki ia dituntut untuk bisa memimpin dan menentukan tujuan serta arah hidupnya. Lelaki harus berani memilih dan bertanggung jawab atas pilihan yang ia ambil.
    Begitulah…
   Karena itu aku tidak pernah ambil pusing dengan komentar-komentar orang lain tentang aku dan hidupku, juga tidak ketika menurut teman-temanku aku tidak berbeda dengan banci. Terserah mereka. Semua orang punya persepsi masing-masing tentang lelaki sejati.
    Dan aku akan menjadi lelaki sejati dengan caraku sendiri.
    Karena itu saat ini aku menangis
    Aku menangis karena aku lelaki
    Aku menangis karena aku berani bersikap
    Aku menangis karena aku bisa mengalah
    Aku menangis karena mungkin benar yang terindah belum tentu terbaik
    Aku menangis sambil duduk diam memandangi laut yang tenang
    Tenang dan hidup…
#  #  #
    “Kucing jelek !”
  Aku menghela napas kesal, tapi dengan senyum tertahan, meninggalkan film faforitku untuk membuka pintu kamar. Tamu yang tidak asing dan tidak bisa dipungkiri karena hanya dia yang mempunyai pasword seperti itu. Pasti sekarang dia sedang berdiri dibalik pintu kamarku sambil menyilangkan dua tangannya dan nyengir lebar.
     Kreekk…
     “Ngapain lo ?!!”, tanyaku pura-pura marah
  Dia tertawa memperlihatkan dua lesung pipitnya yang membuatnya semakin manis dimataku, “Galak sekaleee…!!”, ujarnya dan masuk melewati tubuhku yang tinggi dan kurus.
   “Lagi ngapain, sih, Dhi, sore-sore gini ?”, tanyanya, tetapi aku tak perlu menjawab karena kemudian dia sudah berseru keras ketika melihat film yang sedang aku pause dilayar komputerku.
     “Ya ampuuun…!! Film Conan lagi ??! Ga’ bosen-bosen banget, sih..!!”
   Aku nyengir lebar, “Emang kenapa ? Terserah gue, dong..”, ujarku dan duduk ditepi tempat tidurku.
    “Kenapa, sih, lo masih suka nonton filmnya? Kan lo dah punya komiknya semua??”
  “Beda, Ran..”, ujarku sambil tersenyum, “Film sama komik efeknya beda, lo ngerti, lah…kalo film lebih live, emosi pemainnya juga bisa lebih gue rasain, selain itu…gue emang suka banget sama filmnya, ada sensasi tersendiri kalo gue nonton”
    Dia mendengus, “Terserah, deh..”, katanya sambil mengangkat bahu, “Gue mau liat PR Kimia lo, dong, Dhi..”, lanjutnya dan mendekati meja belajarku, setelah menemukan buku tulis Kimiaku yang memang tergeletak di atas meja, ia membalik-baliknya. Beberapa saat tidak terdengar suara dari mulutnya, aku pikir dia pasti sedang mempelajari PR ku, jadi aku memilih untuk menonton lagi.
       “Dhi,…”, panggil Ran tiba-tiba, suaranya pelan.
    Aku yang sedang melanjutkan filmku langsung menoleh. Jantungku berdetak cepat melihat ekspresi wajahnya yang datar, ia menunduk membalik-balik buku tulisku tetapi seolah ia tidak sedang ada disana.
       “Kenapa, Ran..??”
  “Hmmm…”, ia terlihat bimbang, “Ada yang mau gue certain ke lo, sih, sebenarnya…tapi….”
     Aku langsung berdiri dari dudukku dan menatapnya kesal, “Kenapa, sih, lo?! Kaya sama orang laen aja !!”
     Ia mengangkat wajahnya dan terlihat kesal telah aku bentak seperti itu, “Entar gue juga cerita, kok !! Ga’ usah marah-marah, dong”
      “Sory, Ran...”
    “It’s oke”, potongnya cepat dan langsung tersenyum manis, “Ga’ penting-penting banget, kok…nanti gue ceritain, deh..sekarang gue pulang dulu, ya..buku Kimianya gue pinjem, oke??”
    Aku mengangguk sambil tersenyum lega. Sumpah ! aku benar-benar menyesal telah membentaknya seperti itu, untunglah dia tidak memperpanjang masalah. Lagipula seharusnya aku sadar bahwa dia tidak akan menyembunyikan sesuatu dariku. Rahasianya adalah rahasiaku juga, dan masalahnya pun adalah masalahku yang harus aku selesaikan dengan segala usaha yang pasti akan aku lakukan untuknya.
      “Salam buat Tante, Om,Krisna, Li,..”
  “Oke, oke…”, potongnya sambil tertawa, “Pasti gue sampein buat semuanya, oya,..sebenernya Tante Ida nyuruh gue bawa lo keluar, soalnya lo ngurung diri sore-sore gini, he..he..”
     Aku ikut tertawa. Dia keluar dari kamarku dengan senyum lebar dan lesung pipitnya yang dalam. Aku menutup pintu kamar dan langsung menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur dengan senyum yang aku biarkan mengembang di wajahku.
      Dyah Sekar Rani. Rani yang manis dengan lesung pipit, rambut panjang hitam yang selalu diikat ke belakang, yang cerewet, berani tetapi gampang menangis dan pintar. Lebih pintar dari aku malah. Dia selalu masuk tiga besar yang punya rutinitas menerima piala penghargaan tiap tahunnya dari sekolah. Satu-satunya pelajaran yang membuatku lebih unggul darinya hanya pada pelajaran Kimia, karena itu dia sering melihat bukuku untuk dipelajari lagi, lebih gampang dimengerti, ujarnya. Dia ramah, baik, pengertian tetapi terkadang galak. Banyak yang menyukainya, aku pikir. 
         Tetapi tenang saja.
Karena dari beberapa orang lelaki yang menyukainya, akulah yang paling beruntung. Dari kecil sampai sekarang, akulah lelaki yang paling sering melewatkan waktu dengannya. Aku tahu semua tentang Rani. Apa saja ! Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Orang pertama ketika aku paham arti dari kata “teman”. Waktu kecil aku pernah tidur sekamar dengannya, tetapi itu dulu, tentu saja, saat aku belum mengerti apa-apa selain bermain. Rumah kami bersebelahan, karena itu sejak SD sampai SMU ini, kami selalu berangkat ke sekolah bersama. Hingga sepertinya tidak berlebihan jika aku berkata bahwa waktu Rani adalah waktuku juga.
Dia paling tidak suka dengan ulat. Aku pernah menakut-nakutinya sampai dia menangis dan tidak mau bermain denganku lagi selama dua hari. Akhirnya aku meminta maaf dengan memberinya kado berisi boneka kucing yang imut, aku paling suka dengan kucing. Tetapi ternyata dia malah berkata kucing itu jelek, kotor, bau dan jorok. Aku marah dan langsung pulang kerumah. Rani melakukan hanya untuk membalas ulah isengku. Karena ternyata boneka itu ia pajang ditempat paling istimewa dikamarnya, sampai sekarang. Sejak saat itu, jika aku mau masuk ke dalam kamarnya, aku akan menyebutkan kata “Ulat imut” sebagai password, dan dia membalasnya dengan password “kucing jelek” untuk masuk ke kamarku. Aku tertawa geli mengingat itu semua.
Jujur saja, aku menyukai Rani lebih dari sekedar sahabat. Perasaan aneh yang selalu muncul setiap kehadirannya, dan rasa sakit yang menyiksa jika dia tidak ada. Hari ku selalu terasa kurang sempurna jika belum melihatnya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja. Telah bertahun-tahun aku memendam perasaanku untuknya, aku selalu merasa belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahunya. Rani selalu merasa tidak suka jika aku meledeknya dengan lelaki yang banyak memujanya. Itu membuatku takut ia akan membenciku karena menodai persahabatan kami dengan perasaanku. Mungkin aku hanya akan menyukainya, tidak ada wanita lain selama ini yang bisa membuatku mencintai lebih dari rasa cintaku untuk Rani. Diam-diam aku telah menaruh namanya yang indah kedalam daftar planning hidup yang telah aku siapkan. Hidup ini harus mempunyai tujuan. Dan wanita tujuan hidupku adalah dia.
Karena Rani pula aku begitu menyukai cerita detektif karangan Aoyama Goso itu. Kisah cinta yang indah dan sulit. Kesetiaan dan rasa saling percaya menjadi kunci dari hubungan Sinichi Kudo dan Ran Mouri. Mereka tidak pernah saling memberitahu dengan kata untuk perasaan  mereka.  Mereka saling mencintai dengan hati dan naluri…Seperti cintaku untuk Rani.
#  #  #
Dua hari kemudian Rani memberiku kejutan yang membuatku terpana dan tak bisa bergerak karena pesona yang ia pancarkan. Pagi itu aku menunggunya di atas motor Honda bebekku untuk menjemputnya pergi ke sekolah. Aku menoleh ketika mendengar suara langkah kakinya yang begitu khas ditelingaku. Setelah itu aku hanya bisa terdiam dan mulutku tak bisa mengeluarkan kata-kata, bahkan ketika ia bertanya untuk meminta pendapatku.
“Gimana, Dhi..??Cocok ga’ buat gue ??”
Aku hanya bisa mengacungkan dua jempolku untuknya. Mulai pagi ini aku tak akan bisa melihat rambut hitam Rani lagi. Jilbab putih itu telah melindunginya dan membuatnya semakin anggun dan dewasa. Aku merasa begitu kecil dihadapannya. Tubuhku seakan menciut kerena keagungan dan keindahan yang ia tebarkan. Wuah…aku terlalu berlebihan…
Sepulang sekolah aku tak bisa menyimpan perasaanku dan kabar gembira ini dari ibuku. Aku langsung memeluk dan tidak peduli ketika ia tampak gelagapan karena tubuhku yang tinggi. Aku tertawa dan wajah wanita yang paling aku cintai itu tampak berbinar, tetapi matanya menunjukkan betapa ingin tahunya ia tentang apa yang terjadi padaku.
“Ada apa ini ?? Kok tiba-tiba meluk-meluk ibu ?? kaya anak kecil, ah..”
“He..he..”, tawaku, “ Ibu tau ga’, hari ini…Rani pake jilbab !!”, seruku gembira.
“Oya…??? Wah,..bagus itu,..calon bu Ustad memang harus pakai jilbab, to ?, syukurlah…”
Aku berhenti tertawa, keningku berkerut, apa maksud kata-kata ibuku, “Bu Ustad ?? Ustadnya siapa ??”
Ibuku tampak kaget, “Lho ?? Belum tau, to ?? Si Rani itu kan sudah dicalonin sama anaknya pak Khairuddin yang  lagi kuliah di Mesir...ibunya Rani yang cerita ke ibu”
DWORR !!!
Aku merasa kepalaku ditembak tiba-tiba oleh senjata mematikan. Kepalaku pusing, aku seakan tidak berpijak di bumi. Untung aku bisa mengontrol diri dan emosiku, bagaimanapun juga dihadapanku sekarang adalah wanita yang paling akan khawatir dengan keadaanku. Aku membalikkan tubuh dan mencoba menyembunyikan wajah saat ibuku bertanya dengan nada gelisah.
“kenapa to, le… ??”
“Ardhi capek,bu..mau istirahat dulu”, jawabku tanpa menoleh dan berjalan lemah ke kamarku. Aku tidak ingin bertemu dengan siapapun hari ini.
#  #  #
Aku melarikan motorku dengan kencang. Tidak perduli dengan apapun lagi, bahkan dengan Rani yang sekarang mencengkram tubuhku dari belakang dan berteriak ketakutan. Suaranya membuat perasaanku semakin sakit dan menderita. Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin dan membentaknya agar dia diam. Tetapi yang aku lakukan hanya menahannya sehingga rahangku mengeras dan keningku berlipat karena beban perasaan yang aku pendam. Akhirnya ditempat yang aku tak tahu tepatnya dimana, hanya padang luas disamping jalan dengan rumput-rumput tinggi, aku mengerem motorku sambil membelokkannya. Rani langsung meloncat dari belakangku saat motor benar-benar berhenti. Wajahnya memerah.
“Ardhi ! Lo kenapa sih ?? Klo mau bunuh diri jangan ajak-ajak gue, dong !!”, bentaknya marah, napasnya memburu dan ia memang terlihat ketakutan.
Dadaku naik turun, sesak yang menyakitkan. Aku masih menunduk menatap tanah dengan napas tersengal. Rahangku masih mengeras dan aku tak pernah merasa semarah ini. Aku turun dari motorku dan menatap Rani tepat dimatanya.
“Lo emang ga’ pernah peduli sama gue !!”, teriakku, “Bulshitt lo bilang kita sahabat !! Bohong semuanya !!!”, Aku benar-benar marah sekarang.
Rani tampak terkejut dan memucat. Aku merasakan kepuasan tersendiri melihatnya ketakutan seperti itu, walaupun ada bagian dari hatiku yang merasa takut, sakit dan ingin melindunginya.
“Ardhi…lo kenapa ???”
“Kenapa !!”, Aku berteriak berang, beraninya dia berpura-pura seperti itu. Idiot!!
“Ga’ usah pura-pura bego, lo !! Kenapa lo ga’pernah ngasih tau gue ?? Lo sama sekali ga’ ngehargai gue !! Lo ga’ pernah nganggep gue ada !! Lo itu bego, Ran !! Lo ga’ pernah bisa ngertiin gue !!!”
Rani terisak dan aku semakin benci melihatnya menangis seperti itu. Dasar cewek cengeng !! Memangnya cuma dia yang merasa sakit saat ini ??
“Kenapa lo ga’ pernah ngasih tau gue kalo lo…kalo lo dah dijodohin sama orang lain ?? Lo ga’ ngehargai gue, Ran….,lo jahat sama gue…..”,entah kenapa aku merasa letih  dan tak mau mendengar apa-apa lagi darinya.
“Bukan gitu, Dhi…”, Rani mencoba menjelaskan, tetapi aku malah mengangkat tanganku untuk menolak.
“Ardhi, dengerin gue…”, ujar Rani memohon, “Gue ga’ bermaksud nyembunyiin dari lo, gue emang mau cerita dari awal, tapi gue ga’ tau keputusan yang tepat itu seperti apa. Orang tua gue ga’ pernah maksain gue, Dhi..tapi mereka minta gue mencoba buat kenal sama kak Yoga..”
“Namanya Yoga,huh !”, dengusku
“Dia orang baik-baik, aku kenal dia cuma lewat email dan chatting,..”
“Dan lo nyembunyiin semuanya dari gue..??!!”
“Ardhi…gue punya alasan”, Rani berujar tegas, “Dia tahu semua tentang gue, dia tahu perjodohan ini dari kecil, dan dia bener-bener bisa ngertiin gue, Dhi..dia bisa menebak dengan benar semua yang gue rasain, dan dia bisa jadi lebih dari seorang teman buat gue, g..gue..gue merasa dia bisa menjadi imam yang baik buat gue, gue butuh dia buat menuntun gue, Dhi…”
Aku muak dan ingin berteriak mendengar semua kata-kata itu.
“Dan,..kenapa gue ga’ bisa nyeritain semua ke lo karena…”, Rani menggantung ucapannya, membuatku menoleh ke arahnya dengan perasaan  bercampur baur.
“Kak Yoga bilang…lo cinta sama gue, ap..apa itu bener ??”
Aku merasa ditampar oleh ucapan Rani itu. Aku kikuk, serba salah dan benar-benar merasa menjadi lelaki paling memalukan didunia. Aku tidak bisa menggerakkan mulutku untuk menjawab pertanyaan itu, bahkan aku sudah merasa kehilangan muka di depan Rani. Kenapa harus lelaki itu yang pertama kali menyadari perasaanku pada Rani. Kenapa harus dia ????!!!!
#  #  #
Sekarang, disinilah aku berada, di atas batu karang di tepi laut yang tenang. Angin sore memainkan rambut dan pakaianku dan cahaya senja menghujani tubuhku dengan kehangatan jingganya. Aku telah memutuskan, aku telah bersikap, dan aku berusaha yakin telah melakukan yang terbaik. Hidup adalah pilihan, dan aku akan menerima semua akibat dari pilihan yang aku putuskan.
Rani memang tidak menjadi milikku. Tetapi aku bahagia telah memberikan yang terbaik untuknya. Lelaki itu adalah lelaki untuk Rani, yang terbaik untuknya dan bisa menyempurnakan hidupnya. Lelaki itu harus membahagiakan Rani untukku. Dan aku tidak akan menyesali semuanya, seperti aku yang tak pernah menyesal memuja Rani, sahabatku, yang akan selalu menjadi sahabatku.

Bawabah dua, 20 Desember 2008

No comments:

Post a Comment