Pagi ini aku termangu ketika melihat seorang lelaki Mesir
paruh baya menggendong anaknya di pundak. Anak perempuannya itu melingkarkan
tangan kirinya di kepala ayahnya, dan tangan kanannya menggenggam sebuah apel
hijau. Badannya yang kecil terpantul-pantul mengikuti gerakan langkah ayahnya
yang cepat. Aku melihat wajahku di raut muka anak perempuan tadi, 19 tahun yang lalu.
Tanpa sadar aku tersenyum. Aku sudah dewasa sekarang, tapi
aku mengingat dengan jelas kenangan saat itu. Bayangan ayahku berkaos putih
oblong dan celana hitamnya,
juga tangannya yang menahan punggungku agar tidak terjatuh dari pundaknya. Aku merasa aman dan hangat. Di atas pundak ayah yang tinggi, aku seperti mendengar bahasa isyarat dari tubuhnya, “lihatlah dunia anakku, jamahlah sekelilingmu, dan jangan takut karena aku selalu melindungimu”
juga tangannya yang menahan punggungku agar tidak terjatuh dari pundaknya. Aku merasa aman dan hangat. Di atas pundak ayah yang tinggi, aku seperti mendengar bahasa isyarat dari tubuhnya, “lihatlah dunia anakku, jamahlah sekelilingmu, dan jangan takut karena aku selalu melindungimu”
Itu adalah bahasa hati, bahasa yang hanya bisa di ucap
dengarkan oleh mereka yang punya ikatan perasaan yang kuat. Seperti aku dengan
ibuku, ayahku, dan mungkin suamiku kelak. Karena aku percaya dengan bahasa hati
itu, maka aku juga yakin dengan kasih sayang ayahku yang terkadang
disampaikannya melalui isyarat. Walaupun aku kurang bisa menangkapnya langsung.
Seperti waktu itu, aku masih berumur sekitar 14 tahun.
Setelah lulus SD aku melanjutkan sekolah di pondok pesantren di Tangerang,
cukup jauh dari Lampung, tempatku tinggal. Setiap liburan Ramadhan dan akhir
tahun aku pulang ke rumah. Di suatu sore aku duduk-duduk di halaman belakang,
nenekku sedang membuat ketupat disampingku, aku tidak membantunya karena tidak
pernah berhasil membuat ketupat yang rapi dan cantik.
“itu pohon apa, nek?”, tanyaku sambil menunjuk tanaman
setinggi 2 meter di sebelah kanan kami. Sebenarnya aku sudah menyadari tanaman
itu sejak liburan tahun lalu, tapi karena masih kecil aku tidak begitu peduli.
Nenekku menoleh, “ itu pohon alpokat kamu”, jawabnya sambil
memilin-milin daun kelapa muda.
Aku terkejut, “punya aku??”, tanyaku lagi untuk memastikan.
Padahal sebenarnya aku ingin mengusulkan untuk menebang pohon itu, dengan
alasan posisinya yang lurus di depan pintu belakang-walaupun tidak terlalu dekat- dan bentuknya menunjukkan
ciri-ciri tanaman yang akan tumbuh tinggi dengan kayu yang kuat.
“Iya”, nenekku mengangguk, “ sebenarnya mau nenek tebang
saja, atau di pindahkan, tapi dilarang sama ayahmu, katanya itu pohon alpukot nda, nda sendiri yang tanam, karena nda suka alpokat dan mau punya pohon
sendiri”.
O..O...
Aku terpana, dan mencoba mengingat kapan aku menanam pohon
itu. “hmm...begitu yah??”, ujarku sambil beranjak mendekati tanaman itu. Aku
tersenyum sambil memegang dahannya yang masih muda. Ia terlihat terawat, ayah
juga kah yang merawatnya selama ini??? Seperti ia merawat kenangan bersama
anak-anaknya???
Aku terharu dan merasa bodoh. Bagaimana bisa aku sendir
tidak ingat pernah menanamnya ? juga pernah mengatakan ingin punya pohon
alpokat sendiri ? Diam-diam ternyata ayah menghargai semua yang aku harapkan,
inginkan dan juga usahakan. Lebih dari itu, ayah selalu membantuku mewujudkan
apa yang aku impikan, tanpa aku ketahui.
Selain itu, ternyata ayah juga tahu aku suka jus alpukat,
selama ini kukira hanya ibuku saja yang tahu. Karena ibu yang selalu membawakan
aku buah itu setiap pulang dari bepergian. Padahal mungkin saja ayah yang
mengingatkan ibu untuk membelinya. Ayah juga terkesan galak dan penuh dengan
peraturan ini-itu. Bukan karena ingin membatasi kebebasan hidup dan mimpiku,
tetapi ingin mengarahkan bahwa diantara beribu jalan, jalan yang ia usulkan
adalah yang terbaik. Toh jika aku mengambil jalan yang aku pilih sendiri, ayah akan
tetap mendukungku. Ahh..ayah, you’re not just a hero, but a silent guardian and
watchful protector..^^*
·
*Mengutip kata-kata Gordon
untuk Batman, the dark knight ;p
No comments:
Post a Comment