Nusantara

Saturday, November 20, 2010

Gaung

Seorang lelaki berperawakan Asia berjalan gontai diantara pohon-pohon yang berjajar rapih itu. Wajahnya datar, tetapi matanya tak bisa membohongi kekosongan pikirannya. Ia memang melangkah, tetapi pijakannya tak ia rasakan. Ia seakan mencipta dimensinya sendiri. Angin sore mengajak menari dedaunan dan ranting, pun kemeja coklat garis-garis putih yang terlihat agak kebesaran di tubuh kurusnya. Ia juga mengenakan celana hitam dan menggendong ransel enteng, tidak penuh. Aku tahu ia seorang Mahasiswa.
 Mataku melihatnya prihatin, tetapi bibirku tersenyum sinis. Paduan dari iba dan jengkel. Seolah malaikat putihku merentangkan sayap motivasi dan menaburkan senyum surga seorang ibu, tetapi di sebelah kiri, makhluk hitam bertanduk milikku pun melotot merah, seangker kecewa seorang bapak. Aku yakin lelaki itu sedang tersesat. Ia tengah bertarung dengan dirinya sendiri.
 Bukan mauku hanya memperhatikan, tetapi karena aku juga telah terpinggirkan. Tahun awal lelaki itu aku masih berada di garda depan. Berdiri tegak dengan tombak layak prajurit siap perang. Lelaki itu acap kali mengasah senjataku dengan semangat mimpi-mimpinya. Tetapi sekarang aku teronggok lusuh disudut berdebu, jauh tertumpuk dan dibiarkan terpuruk.
 Sekarang lelaki itu merindukanku. Jiwanya mencoba mengais dan mencari dimana aku pernah diletakkan. Karena itu ia gontai, meraba pijakan yang tak tersentuh oleh alas kaki. Biarlah...ia akan menemukanku dengan sendirinya, sama seperti ketika ia mencampakkanku, tanpa komando.

 I’m walking with my head lowered in shame from my place
I’m walking with my head lowered from my race..
 Getar suara Maher Zain membawa kesadaran sejenak. Lelaki itu merogoh saku celananya dan menatap nama pemanggil di layar Nokia hitam miliknya. Ia hanya tertegun, bukan karena pemanggil itu, tetapi karena ringtone yang ia pilih. Sejak dulu nada itu mengertak-gertaknya tiap kali nomor masuk , tetapi tak pernah benar-benar ia resapi. Bahkan ia lupa kenapa pernah memilih judul “Awaken” itu. Akhirnya lagu itu terhenti. Ia masih tidak perduli dengan pemanggil tadi, apa lagi tujuannya. Karena sore ini ia punya dunia sendiri.
 Perjalanan hidup manusia tak pernah lepas dari pilihan, karena pilihan adalah urat nadi gerak. Karya dari pilihan hidup itu mencipta perputaran waktu yang berjalan mundur, menghadirkan bersitan-bersitan episode nasib. Lelaki itu menikmatinya sambil merebahkan tubuh di bangku taman, menutup matanya sampai berkerut. Ia sedang bernostalgia, tetapi tidak tersenyum. Sementara telinganya tak henti menangkapku, meski samar-samar.
 Jalan-jalan kesibukan semrawut tak jelas lagi. Kemarin lelaki itu masih menikmati pepohonan di balik kaca bus sambil tertawa melihat polah manusia.  Dan tak hanya kemarin, ransel itu masih ia sandang dengan gagah sambil berbaur di tengah tarik-menarik dinamika pilihannya. Waktu memang tak akan pernah kembali, ia menyadari itu dengan santai bak melambaikan tangan perpisahan kepada tamu tidak penting. Karena apa saja layak dikorbankan. Toh, tak ada yang sia-sia, begitu pikirnya. Tetapi mengabaikan waktu adalah pembunuhan terkejam, korbannya adalah diri sendiri. Semua yang telah ia lewatkan sekarang seolah menjelma tombak-tombak yang dilemparkan ke satu arah, identitasnya.
 Mungkin Ia salah jalan, atau mungkin caranya berkendara yang salah. Tetapi itu juga tak benar! Atau pemberhentiannya yang absurd? Tidak! Ia tahu dimana tujuannya walaupun terkadang samar, karena aneka wajah trotoar dan banyaknya simpangan. Ia ingin berteriak sekarang, menangisi kegeoisannya yang sangat. Penjahat itu adalah dirinya sendiri. Aku menggema tumpah tindih di ingatannya.
 Sekarang penat itu menggerogoti tiap-tiap sendinya. Ia kehilangan arah, sampai saat ini tak ada yang benar-benar Ia dapat. Tanya saja mereka, apakah perannya benar-benar bermakna? Apakah inspirasinya benar-benar didengar? Tidak! Juga menara-menara itu, mereka memicingkan mata tak mengenalnya. Ia kehilangan dunia, seolah tak punya tempat. Raungnya sore ini menangisi dirinya yang hanya secuil di tengah onggokan besar harapan kampung halaman. Separuhpun tak ada yang menjadi genggamannya. Kakinya hanya lelah kesana-kemari, otaknya hanya jemu, dan tubuhnya mengurus. Sementara waktu menertawakan lambaiannya.
 Apa yang harus ia lakukan? Pertanyaan klasik yang jawabannya pun sebenarnya itu-itu saja. Aku melihatnya menunduk dan meremas kepala. Sesal tak pernah datang lebih awal, ia tahu tak seharusnya melupakanku. Lalu andai-andai mulai bertaburan dari sayap makhluk hitam bertanduk dan bertopeng manis.  Aku tersentak, cibiranku seakan tak percaya, dengan tegas lelaki itu mengibaskan tangan kepada makhluk hitam pencipta andai-andai hingga melebur bersama angin. Tak salah jika aku tersenyum tanpa sadar.
 Jika jiwa manusia berjumlah dua, maka aku seperti melihat wujud lain yang selama ini telah jauh mati. Ia ingin kembali menataku dan mengasahnya dengan kekuatan do'a-do'a leluhur. Aku menggeliat perlahan, tangan lelaki itu tak hanya menoleh kearahku, tetapi sekarang memanggil. Waktu yang terbengkalai telah menusukkan tombaknya, perih. Dan selalu ada penawar untuk setiap luka. Malaikat putihku memberi sentuhan ibu, "Semua pernah kalah," ujarnya bijak.
 Ia memang gagal di dunia pilihannya, tetapi bukankah gagal pun merupakan jalan? Seseorang tidak pernah benar-benar kehilangan pijakan. Segala yang terjadi adalah proses pembentukan kepribadian diri. Setiap tahap yang telah dilewati merupakan potongan mozaik yang pada akhirnya mewujudkan sosok. Itulah eksistensi manusia. Lelaki itu mulai menyatukan hatinya dengan akal. Ia memang telah menulikan telinga terhadap panggilanku, tetapi aku mulai melihat sisi tegarnya menghadapi goncangan. Aku ingin menjadi suara yang tak hanya diingat kembali, tetapi juga berada di depan retina mata dan bertahta ditiap geraknya.

“Apapun yang kita jalani nanti, idealisme kita harus tetap sama !”, teriak lelaki itu dulu, dengan kemantapan hati. Aku terharu melihat gelora itu,  ternyata masih disana, dibalik kabut-kabut buram mata dan kepenatan jiwa.  Perlahan aku berjalan menggapai hatinya, setelah telinganya jelas mendengarku lagi.

No comments:

Post a Comment