Nusantara

Saturday, July 21, 2012

Love for My Aunt




Aku tak mengerti bagaimana bisa ia memiliki cinta seperti itu. Berbagai macam pertanyaan muncul dibenakku yang belum dewasa untuk menerima hal-hal diluar kewajaran. Apakah ia tak pernah merasa cemburu?? Apakah ia baik-baik saja?? Apakah ia justru merasa bahagia?? Atau, apakah ia tulus?? Ataukah begitu hebatnya ia menyembunyikan perasaan hingga airmatanya menghilang tersamar oleh senyuman?? Sekuat itukah, setelah bertahun-tahun??...Aku tak tahu...
Yang aku pahami adalah keluargaku begitu bahagia menerimanya. Setiap kali suaminya datang, mencium tangan nenekku dengan takzim, menanyakan tentang kabar kami, ia pun akan berbuat serupa dan nenekku akan mencium keningnya dengan lembut. Kedua anaknya akan berkerumun di samping nenek dan berceloteh macam-macam, kami kemudian tertawa melihat tingkah mereka. Dan setiap itu pula, aku selalu memperhatikan tawa yang melebar di wajahnya, benarkah ia bahagia???
Aku mengenalnya sejak kecil, setelah ia menikah dengan lelaki yang ku panggil paman. Bukan pamanku yang sebenarnya, karena kami tak punya hubungan darah sama sekali. Saat aku masih kecil, lelaki itu sering ku lihat mengunjungi rumah kami, ia sangat baik dan ramah. Badannya kurus dengan tinggi sedang, kulitnya putih dan alisnya tebal, selain itu aku sangat menyukai caranya tertawa karena matanya akan menyipit hilang dan mulutnya terbuka lebar. Aku memang menyukai lelaki itu sejak kecil, dan aku memanggilnya paman karena sebentar lagi ia akan menjadi paman baruku. Aku tak sabar menantinya menjadi bagian dari keluarga kami, sama seperti bibiku yang tak sabar menunggu hari pinangannya.
Dan kemudian musibah itu datang. Bibiku yang cantik berwajah teduh dengan mata yang lembut itu menutup mata untuk selama-lamanya. Ia menderita sakit tumor dan tak bisa diselamatkan. Nenekku menangis, ibu dan ayahku menangis, keluargapun menangis, kami semua merasa kehilangan yang tak terperikan. Aku juga melihat lelaki itu menangis, tawanya yang lebar dengan mata menyipit itu tak lagi aku temukan.

Waktu kemudian berlalu cepat, aku telah masuk Sekolah Dasar dan kesedihan karena kepergian bibiku telah perlahan menghilang. Foto bibiku masih tetap dipajang di rumah, disamping foto ibuku, nenekpun masih memiliki fotonya yang ia taruh disamping tempat tidur. Tetapi lelaki itu telah jarang kulihat, ia hanya sesekali datang ke rumah kami, kemudian di suatu waktu aku tak melihatnya lama sekali. Saat itu aku berpikir bahwa calon pamanku itu juga akan menghilang dari kehidupan kami, bersama perginya wanita yang ia cintai.
Tetapi aku salah total. Walaupun setelah itu selembar undangan pernikahannya datang kerumah kami, lelaki itu tetap menjadi calon pamanku. Dan siapa sangka setelah pernikahannya, dia semakin sering datang ke rumah dan kami sering bertemu. Sama halnya ketika dulu bibiku belum meninggal. Lelaki itu kembali datang dengan tawa lebar mata sipitnya. Begitulah akhirnya aku mengenalnya, wanita pengganti bibiku, yang entah mengapa cintanya tak pernah aku mengerti.
Ia adalah wanita yang cantik berkulit putih dengan badan yang tinggi semampai. Matanya juga sipit seperti mata paman, dan juga ramah. Perawakannya sangat berbeda dengan bibi. Tetapi keluargaku menyukainya, apalagi nenek yang memperlakukannya seperti anak sendiri. Ia seolah wujud lain dari bibiku yang telah meninggal, walaupun mereka sangat berbeda dari segi fisik, maka aku pun memanggilnya bibi sejak saat itu.
Begitu selanjutnya yang terjadi bertahun-tahun. Ketika ia melahirkan kami datang dan ikut merayakan seperti kehadiran calon anggota keluarga baru, ketika keluarga pergi berlibur, maka paman,bibi dan anaknya pun ikut berlibur. Ketika ada keluarga yang merayakan pernikahan, maka bibipun mendapat jatah kebaya yang sama seperti yang dipakai ibu. Ketika foto keluarga, maka nenekpun mengajaknya berdiri sejajar dengan keluarga yang lain. Anak-anaknyapun seperti cucu bagi nenek, kamipun memperlakukan anak-anaknya sama seperti cucu nenek yang lain. Dan aku selalu memperhatikan, ketika paman tertawa, iapun ikut tertawa bahagia, apakah ia melakukan ini semua hanya untuk paman? Sebesar itukah rasa cintanya? Padahal pasti ia tahu siapakah keluarga kami, kami adalah keluarga dari wanita yang hampir saja menjadi istri suaminya.
Sekarang ketika aku menginjak dewasa dan semakin mengenal apa yang disebut cinta dan perasaan. Aku semakin tak mengerti dengan cinta yang dimiliki bibiku. Bukan berarti aku tak menyukai kehadirannya, bagiku, mungkin pula bagi keluargaku ia adalah bidadari yang dikirim Tuhan untuk mengobati kehilangan kami. Tetapi bukankah ia adalah wanita biasa?? Sebagai wanita biasa, apakah ia tak pernah merasa cemburu dengan suaminya yang begitu dekat dengan keluarga mantan kekasihnya?? Bahkan ia harus terjebak dengan kasih sayang berlebih yang diberikan oleh nenek dan keluarga kami. Bagaimanakah sebenarnya yang ia rasakan??
Maka ketika suatu hari keluarga besar kami sedang berlibur di tepi pantai yang indah, aku melihat bibi sedang duduk sendiri sambil mengeluarkan snack dan kue yang ia bawa dari rumah. Aku yang tak bisa menahan diriku lagi segera menghapirinya, menanyakannya langsung kepada bibi. Dulu aku selalu menahan diri untuk menanyakannya dengan alasan tidak sopan, tidak penting, memalukan dan lain-lain. Tapi semakin lama rasa penasaran membuatku mengalahkan pertimbangan-pertimbangan itu. Aku ingin sekali mengetahui langsung bagaimana perasaan bibi.
Bibi hanya tersenyum menatapku, lalu menawarkan kue kering yang ia bawa untuk cemilan. Aku jadi malu dan canggung. Angin pantai berhembus dan teriakan sepupuku yang ramai bermain air terdengar ribut. Ada keheningan antara aku dan bibi yang membuatku menyesal telah bertanya.
“Sebelum menikah, bibi sudah mengenal bibimu”, akhirnya bibi mulai bercerita, aku terkejut dan mulai mendengarkan tanpa ingin terlewat satu katapun. “Walaupun kami tidak begitu akrab, bibi sangat tahu bagaimana dulu pamanmu sangat mencintainya. Ia perempuan yang baik dan lembut. Ia dikenal pintar dan cantik. Ia juga memiliki keluarga yang baik dan sangat menyayanginya. Hidupnya seolah sempurna. Wajar saja jika pamanmu sangat mencintainya, dan itu...pernah membuat bibi cemburu. Dulu bibi pernah berpikir, seandainya saja ada lelaki yang mencintai bibi seperti pamanmu, seandainya saja bibi adalah wanita seberuntung dia”, bibi terlihat sedih, ia menatap lurus ke laut, tetapi seolah sedang mengembara keberapa tahun silam.
“Kamu tahu, pikiran-pikiran seperti itu membuat bibi merasa bersalah. Apalagi ketika bibimu sakit dan meninggal, bibi benar-benar sedih. Dan yang membuat bibi semakin kaget adalah lamaran dari pamanmu yang tiba-tiba. Tentu saja bibi tak percaya pamanmu bisa memilih bibi untuk menggantikan bibimu. Selain itu..bibi pernah merasa takut, apakah pamanmu benar-benar mencintai bibi, atau hanya...”, bibi terdiam beberapa saat. Aku mengerti sekarang, mengapa tak seharusnya kutanyakan masalah ini dengan bibi. Pasti akan sangat sulit baginya..
“Tapi..untuk apa bibi berpikir seperti itu jika seandainya menikah dengan pamanmu adalah anugerah. Bahkan bibi merasa malu jika harus cemburu dengan almarhumah bibimu, justru terkadang bibi merasa bersalah karena telah menikah dengan lelaki yang dulu mencintainya. Apalagi keluarga begitu menerima kehadiran bibi, dan pamanmu pun masih diterima kehadirannya. Keluargamu benar-benar baik, masih bisakah bibi berpikir untuk cemburu dengan semua kebaikan yang sekarang bibi peroleh??”.
Aku terdiam tak menjawab. Bibi tersenyum kearahku dan menekukkan kakinya, kemudian menatap langit biru yang dipenuhi awan. “Kita semua menyayangi bibimu. Nenek, orang tuamu, pamanmu, bibi, semua keluarga menyayanginya. Walaupun bibimu telah tiada, bukan berarti kita tak menghargai mimpi-mimpinya. Mimpi bibimu adalah membuat bahagia orang yang ia sayang, dan itulah yang sekarang kita lakukan”.
Aku terhenyak dan rasa haru membuatku tak bisa menahan diri, ku peluk bibi dengan sayang, ia benar-benar wanita yang baik. Keikhlasan dan ketulusan hatinya membuatku kehilangan kata-kata. Aku yakin, pamanpun mencintai bibi dengan tulus seperti ia dulu mencintai bibiku. Ketulusan cinta mereka tak memerlukan alasan dan pertanyaan mengapa. Terima kasih ya Allah, telah menghadirkan orang-orang yang baik dalam hidupku.







No comments:

Post a Comment