Aku
tak mengerti bagaimana bisa ia memiliki cinta seperti itu. Berbagai macam
pertanyaan muncul dibenakku yang belum dewasa untuk menerima hal-hal diluar
kewajaran. Apakah ia tak pernah merasa cemburu?? Apakah ia baik-baik saja??
Apakah ia justru merasa bahagia?? Atau, apakah ia tulus?? Ataukah begitu
hebatnya ia menyembunyikan perasaan hingga airmatanya menghilang tersamar oleh
senyuman?? Sekuat itukah, setelah bertahun-tahun??...Aku tak tahu...
Yang
aku pahami adalah keluargaku begitu bahagia menerimanya. Setiap kali suaminya
datang, mencium tangan nenekku dengan takzim, menanyakan tentang kabar kami, ia
pun akan berbuat serupa dan nenekku akan mencium keningnya dengan lembut. Kedua
anaknya akan berkerumun di samping nenek dan berceloteh macam-macam, kami
kemudian tertawa melihat tingkah mereka. Dan setiap itu pula, aku selalu
memperhatikan tawa yang melebar di wajahnya, benarkah ia bahagia???
Aku
mengenalnya sejak kecil, setelah ia menikah dengan lelaki yang ku panggil
paman. Bukan pamanku yang sebenarnya, karena kami tak punya hubungan darah sama
sekali. Saat aku masih kecil, lelaki itu sering ku lihat mengunjungi rumah
kami, ia sangat baik dan ramah. Badannya kurus dengan tinggi sedang, kulitnya
putih dan alisnya tebal, selain itu aku sangat menyukai caranya tertawa karena
matanya akan menyipit hilang dan mulutnya terbuka lebar. Aku memang menyukai
lelaki itu sejak kecil, dan aku memanggilnya paman karena sebentar lagi ia akan
menjadi paman baruku. Aku tak sabar menantinya menjadi bagian dari keluarga
kami, sama seperti bibiku yang tak sabar menunggu hari pinangannya.
Dan
kemudian musibah itu datang. Bibiku yang cantik berwajah teduh dengan mata yang
lembut itu menutup mata untuk selama-lamanya. Ia menderita sakit tumor dan tak
bisa diselamatkan. Nenekku menangis, ibu dan ayahku menangis, keluargapun
menangis, kami semua merasa kehilangan yang tak terperikan. Aku juga melihat
lelaki itu menangis, tawanya yang lebar dengan mata menyipit itu tak lagi aku
temukan.
Waktu
kemudian berlalu cepat, aku telah masuk Sekolah Dasar dan kesedihan karena
kepergian bibiku telah perlahan menghilang. Foto bibiku masih tetap dipajang di
rumah, disamping foto ibuku, nenekpun masih memiliki fotonya yang ia taruh
disamping tempat tidur. Tetapi lelaki itu telah jarang kulihat, ia hanya
sesekali datang ke rumah kami, kemudian di suatu waktu aku tak melihatnya lama
sekali. Saat itu aku berpikir bahwa calon pamanku itu juga akan menghilang dari
kehidupan kami, bersama perginya wanita yang ia cintai.
Tetapi
aku salah total. Walaupun setelah itu selembar undangan pernikahannya datang
kerumah kami, lelaki itu tetap menjadi calon pamanku. Dan siapa sangka setelah
pernikahannya, dia semakin sering datang ke rumah dan kami sering bertemu. Sama
halnya ketika dulu bibiku belum meninggal. Lelaki itu kembali datang dengan
tawa lebar mata sipitnya. Begitulah akhirnya aku mengenalnya, wanita pengganti
bibiku, yang entah mengapa cintanya tak pernah aku mengerti.
Ia
adalah wanita yang cantik berkulit putih dengan badan yang tinggi semampai.
Matanya juga sipit seperti mata paman, dan juga ramah. Perawakannya sangat
berbeda dengan bibi. Tetapi keluargaku menyukainya, apalagi nenek yang
memperlakukannya seperti anak sendiri. Ia seolah wujud lain dari bibiku yang
telah meninggal, walaupun mereka sangat berbeda dari segi fisik, maka aku pun
memanggilnya bibi sejak saat itu.
Begitu
selanjutnya yang terjadi bertahun-tahun. Ketika ia melahirkan kami datang dan
ikut merayakan seperti kehadiran calon anggota keluarga baru, ketika keluarga
pergi berlibur, maka paman,bibi dan anaknya pun ikut berlibur. Ketika ada
keluarga yang merayakan pernikahan, maka bibipun mendapat jatah kebaya yang
sama seperti yang dipakai ibu. Ketika foto keluarga, maka nenekpun mengajaknya
berdiri sejajar dengan keluarga yang lain. Anak-anaknyapun seperti cucu bagi
nenek, kamipun memperlakukan anak-anaknya sama seperti cucu nenek yang lain.
Dan aku selalu memperhatikan, ketika paman tertawa, iapun ikut tertawa bahagia,
apakah ia melakukan ini semua hanya untuk paman? Sebesar itukah rasa cintanya?
Padahal pasti ia tahu siapakah keluarga kami, kami adalah keluarga dari wanita
yang hampir saja menjadi istri suaminya.
Sekarang
ketika aku menginjak dewasa dan semakin mengenal apa yang disebut cinta dan
perasaan. Aku semakin tak mengerti dengan cinta yang dimiliki bibiku. Bukan
berarti aku tak menyukai kehadirannya, bagiku, mungkin pula bagi keluargaku ia
adalah bidadari yang dikirim Tuhan untuk mengobati kehilangan kami. Tetapi
bukankah ia adalah wanita biasa?? Sebagai wanita biasa, apakah ia tak pernah
merasa cemburu dengan suaminya yang begitu dekat dengan keluarga mantan
kekasihnya?? Bahkan ia harus terjebak dengan kasih sayang berlebih yang
diberikan oleh nenek dan keluarga kami. Bagaimanakah sebenarnya yang ia
rasakan??
Maka
ketika suatu hari keluarga besar kami sedang berlibur di tepi pantai yang
indah, aku melihat bibi sedang duduk sendiri sambil mengeluarkan snack dan kue
yang ia bawa dari rumah. Aku yang tak bisa menahan diriku lagi segera
menghapirinya, menanyakannya langsung kepada bibi. Dulu aku selalu menahan diri
untuk menanyakannya dengan alasan tidak sopan, tidak penting, memalukan dan
lain-lain. Tapi semakin lama rasa penasaran membuatku mengalahkan
pertimbangan-pertimbangan itu. Aku ingin sekali mengetahui langsung bagaimana
perasaan bibi.
Bibi
hanya tersenyum menatapku, lalu menawarkan kue kering yang ia bawa untuk
cemilan. Aku jadi malu dan canggung. Angin pantai berhembus dan teriakan
sepupuku yang ramai bermain air terdengar ribut. Ada keheningan antara aku dan
bibi yang membuatku menyesal telah bertanya.
“Sebelum
menikah, bibi sudah mengenal bibimu”, akhirnya bibi mulai bercerita, aku
terkejut dan mulai mendengarkan tanpa ingin terlewat satu katapun. “Walaupun
kami tidak begitu akrab, bibi sangat tahu bagaimana dulu pamanmu sangat
mencintainya. Ia perempuan yang baik dan lembut. Ia dikenal pintar dan cantik. Ia
juga memiliki keluarga yang baik dan sangat menyayanginya. Hidupnya seolah
sempurna. Wajar saja jika pamanmu sangat mencintainya, dan itu...pernah membuat
bibi cemburu. Dulu bibi pernah berpikir, seandainya saja ada lelaki yang
mencintai bibi seperti pamanmu, seandainya saja bibi adalah wanita seberuntung
dia”, bibi terlihat sedih, ia menatap lurus ke laut, tetapi seolah sedang
mengembara keberapa tahun silam.
“Kamu
tahu, pikiran-pikiran seperti itu membuat bibi merasa bersalah. Apalagi ketika
bibimu sakit dan meninggal, bibi benar-benar sedih. Dan yang membuat bibi
semakin kaget adalah lamaran dari pamanmu yang tiba-tiba. Tentu saja bibi tak
percaya pamanmu bisa memilih bibi untuk menggantikan bibimu. Selain itu..bibi
pernah merasa takut, apakah pamanmu benar-benar mencintai bibi, atau hanya...”,
bibi terdiam beberapa saat. Aku mengerti sekarang, mengapa tak seharusnya
kutanyakan masalah ini dengan bibi. Pasti akan sangat sulit baginya..
“Tapi..untuk
apa bibi berpikir seperti itu jika seandainya menikah dengan pamanmu adalah
anugerah. Bahkan bibi merasa malu jika harus cemburu dengan almarhumah bibimu,
justru terkadang bibi merasa bersalah karena telah menikah dengan lelaki yang
dulu mencintainya. Apalagi keluarga begitu menerima kehadiran bibi, dan pamanmu
pun masih diterima kehadirannya. Keluargamu benar-benar baik, masih bisakah
bibi berpikir untuk cemburu dengan semua kebaikan yang sekarang bibi peroleh??”.
Aku
terdiam tak menjawab. Bibi tersenyum kearahku dan menekukkan kakinya, kemudian
menatap langit biru yang dipenuhi awan. “Kita semua menyayangi bibimu. Nenek,
orang tuamu, pamanmu, bibi, semua keluarga menyayanginya. Walaupun bibimu telah
tiada, bukan berarti kita tak menghargai mimpi-mimpinya. Mimpi bibimu adalah
membuat bahagia orang yang ia sayang, dan itulah yang sekarang kita lakukan”.
Aku
terhenyak dan rasa haru membuatku tak bisa menahan diri, ku peluk bibi dengan
sayang, ia benar-benar wanita yang baik. Keikhlasan dan ketulusan hatinya
membuatku kehilangan kata-kata. Aku yakin, pamanpun mencintai bibi dengan tulus
seperti ia dulu mencintai bibiku. Ketulusan cinta mereka tak memerlukan alasan
dan pertanyaan mengapa. Terima kasih ya Allah, telah menghadirkan orang-orang
yang baik dalam hidupku.
No comments:
Post a Comment