Nusantara

Monday, August 13, 2012

Pahala Secangkir Gelas



Matahari dibulan Ramadhan bersinar sangat terik, walaupun angin sesekali berhembus, tetapi hawa panas yang dibawa oleh hembusan angin itu sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik. Temanku juga sepertinya merasakan sama, ia tak henti berkipas-kipas sejak kami turun dari bus dan duduk di halte ini. Aku dan seorang temanku, namanya Maryam, memang sedang duduk dibangku sebuah halte didepan kuliah. Sebenarnya kami sudah sampai ditujuan kami, yaitu Universitas Islam tampat kami belajar, hari ini kami akan mengecek hasil ujian semester lalu. Tetapi aku dan Maryam belum pergi menuju Universitas itu, masih ada seorang lagi teman kami yang belum sampai, mungkin beberapa menit lagi ia akan muncul.
Benar saja, teman yang sedang kami tunggu-tunggu itu akhirnya turun dari sebuah angkutan umum dan langsung tersenyum lebar begitu melihat kami, “Sudah lama?”,tanyanya. Namanya Arifah, temanku satu fakultas.
Aku dan Maryam menggeleng. “Enggak kok, buktinya aku dan Hazika masih tetap putih walaupun cuaca panas seperti ini”, ujar Maryam membuat kami tertawa.
Kami bertiga langsung berjalan menuju kampus. Sesampainya disana kami berpisah dengan Maryam karena dia beda fakultas denganku dan Arifah. Cukup lama aku dan Arifah mondar-mandir mencari pengumuman hasil ujian, tetapi yang dicari tidak ketemu juga, padahal info yang ada mengatakan bahwa kami hanya harus naik kelantai 3 gedung F, dan disanalah hasil ujian itu ditempel. Aku memutuskan untuk menemui dosen fakultas dan memastikannya, ternyata pengumuan itu bukan digedung F, melainkan digedung B. Sedikit kesal karena info yang salah, aku dan Arifah tidak langsung menuju ke gedung B, Maryam ada disana, aku menelfonnya terlebih dahulu untuk memastikan.
“Hmm..sebentar ya, aku cari dulu”, ujar Maryam. Aku dan Arifah menunggu. Beberapa menit kemudian Maryam membenarkan, ia menyuruh kami untuk segera datang ke gedung B.
Alhamdulillah, hasil ujianku dan Arifah tidak mengecewakan. Kami begitu bersyukur karena bisa melanjutkan semester depan tanpa halangan. Tetapi Maryam sedikit murung, ternyata ia lebih kurang beruntung dari kami, kalau aku dan Arifah salah info gedung, ia malah belum menemukan pengumuman hasil ujiannya. Aku mengusulkan untuk menemui dosen seperti yang kami lakukan tadi, Maryam setuju. Tetapi lagi-lagi keberuntungan belum berpihak kepada kami, dosen itu justru mengatakan bahwa hasil ujiannya belum ditempel hari ini, melainkan besok.
Maryam terlihat kecewa, ia tidak sabar karena akhir-akhir ini nilai ujian memang membuatnya gelisah. Ia ingin cepat-cepat mengetahui hasilnya, agar pikirannya bisa lebih tenang. Akhirnya Maryam nekat memberikan nomor ujiannya kepada dosen, dan dengan wajah sedikit memelas ia meminta dosen melihat hasil ujiannya, apakah ia lulus atau harus mengulang lagi.
Dosen wanita berkaca mata tebal dan baik hati itu akhirnya memeriksa data2-data dan dengan wajah sedih mengatakan bahwa maryam belum beruntung, ia harus mengulang karena nilainya kurang bagus.
Kami bertiga terkejut, Maryam langsung menunduk dan tanpa berkata-kata lagi ia keluar dari ruangan dosen itu. Aku dan Arifah langsung menyusulnya dan mencoba memberi semangat dan menasehatinya untuk bersabar. Kami tak tahu harus melakukan apa selain itu.Maryam hanya diam saja, mungkin ia ingin menangis tetapi ditahan-tahan. Akhirnya kami memilih duduk dibangku, dibawah pohon yang rindang itu Maryam menangis dipundakku, ia menangis sampai terisak-isak.
Setelah agak tenang, Maryam mulai bicara, “Mau temani aku ke Masjid?”, tanyanya.
Aku dan Arifah berpandangan saling meminta pendapat, “Kita, kan sudah shalat zuhur, memangnya ke masjid mau apa?”, sahut Arifah.
“Aku mau menenangkan diri dimasjid, setelah itu menunggu buka puasa disana, mungkin selesai tarawih aku baru pulang”, jawab Maryam kemudian menatapku, “Hazika mau ikut, kan? Biar nanti pulangnya bareng”, lanjut Maryam lagi, kami memang tinggal serumah. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Begitulah, akhirnya kami bertiga sudah ada di sebuah masjid besar yang tidak begitu jauh dari Universitas. Sampai di masjid itu kami langsung shalat sunnah, dan melanjutkan dengan membaca al-Qur’an. Maryam melanjutkan shalat sunnah hajat beberpa raka’at, sedangkan aku dan Arifah yang tidak tahan dengan kesejukan masjid akhirnya berbaring dan tertidur. Menjelang asar kami terbangun dan shalat berjama’ah, selepas itu kami mengaji al-Qur’an lagi sambil menunggu waktu berbuka. Aku keluar sebentar  untuk membeli makanan dan minuman, dan ketika aku kembali, kulihat Maryam sedang berdo’a dengan khusyu’, air matanya sesekali mengalir. Aku dan Arifah hanya terdiam dan mengamini do’a Maryam dalam hati. Kesungguhannya dalam berdo’a membuatku terharu, ya Allah berikanlah yang terbaik untuk temanku itu.
Masjid mulai agak ramai karena banyak juga yang ingin berbuka di Masjid sekaligus shalat magrib, isya dan tarawih berjama’ah. Tiba-tiba seorang ibu menghampiri kami dan menawarkan kurma beserta minuman.
“Ambillah, untuk berbuka”, ujarnya sambil tersenyum lembut. Aku dan Arifah menolak sambil memperlihatkan makanan dan minuman yang sudah kami beli. Melihat itu ibu tersebut tesenyum kemudian katanya, “Pernahkah kalian dengar hadist nabi tentang pahala orang yang memberi makanan berbuka kepada orang lain?”
Kami menggeleng, Maryam tertarik dan ikut bergabung dengan kami. Ibu itu melanjutkan dengan membaca hadist Nabi, “Rasulullah shallallahu `alayhi wasallam bersabda :"Barangsiapa memberi buka puasa kepada orang yang sedang berpuasa maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tersebut dengan tidak mengurangi pahala orang berpuasa itu sedikitpun”.
Kami begitu terpesona dengan kata-kata yang diucapkan dari hadist Nabi Muhammad yang mulia itu. Mendengarnya membuat perasaan hati kami senang dan penuh dengan harapan-harapan. Ibu yang baik hati itu berkata lagi sambil tersenyum manis, “Jadi kalian mau kan menerima kurma dan minuman dari ibu?”
Kami beriga mengangguk bersamaan. Memang lebih baik kami menerimanya, karena ketika ibu itu menginginkan pahala, mengapa kami harus menahan-nahannya??. Ibu itu terlihat senang. Ia memberi cukup banyak kurma untuk kami bertiga, kemudian memberi kami masing-masing  minuman kedalam cangkir plastik yang telah ia siapkan. Setelah memberikan makanan dan minuman itu, lalu berlalu dari hadapan kami untuk menawarkan kepada jama’ah lain.
Melihat itu Maryam seperti kedapatan ide brilian. Ia berkata kepadaku dan Arifah, “Aku juga mau membagi-bagikan makanan seperti ibu itu, semoga saja do’a-do’aku terkabul oleh Allah”, ujarnya. “Boleh,kan aku bagi-bagikan makan ini kepada orang lain?”, katanya lagi sambil menujuk makanan dan minuman yang tadi aku beli.
Aku dan Arifah mengangguk setuju. Maryam menarik tanganku dan Arifah untuk ikut dengannya membagi-bagikan makanan. “Jangan lupa, kalian berdua juga harus berdo’a untukku supaya aku lulus”, bisiknya membuat aku dan Arifah berpandangan dan merasa tidak enak hati, tetapi kami tetap berdo’a juga.
Berbuka puasa hari ini terasa lain, lebih menyenangkan dan membuat perasaan kami lega. Kami begitu bahagia ketika orang-orang berbuka dengan makanan yang kami berikan. Kami sendiri berbuka dengan kurma dan minuman yang diberikan oleh ibu asing tadi. Sungguh suatu nikmat yang indah ketika kita dapat berbagi kepada orang lain. Setelah itu kami shalat magrib dengan khusyu dilanjut dengan isya dan tarawih, sesampai dirumah kami makan dengan lahap.
Esok harinya sebuah berita mengejutkan membuatku begitu takjub, Maryam benar-benar lulus dan bisa melanjutkan semester. Dia memberi tahuku lewat telepon dengan penuh semangat dan menggebu-gebu. Aku mengingatkannya untuk tidak lupa sujud syukur, doa-doanya telah dikabulkan Allah. Tetapi bagaimana bisa itu terjadi?? Mungkin kemarin dosen salah lihat nilai. Tetapi apapun penyebab kejadian itu bisa terjadi, aku benar-benar yakin, bahwa Allah pasti akan mengabulkan do’a hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dan percaya. Selain itu, makanan dan tiap gelas minuman yang kemarin dibagikan Maryam sepertinya ikut berdo’a untuknya. Aku tersenyum bahagia, ditiap perlakuan baik pasti ada pahala dan balasan yang baik pula. Masha Allah...




Friday, August 10, 2012

Ramadhan dan Jilbab Baru Fahira



Sinar matahari bersinar sangat terik seolah sengaja ikut menguji manusia-manusia yang sedang berpuasa dibawahnya. Panasnya yang menyengat terasa membakar ubun-ubun dan menjalar kebawah sampai masuk ke dalam kerongkongan. Udara benar-benar tidak bersahabat sama sekali, begitu juga dengan lingkungan, debu-debu dan asap kendaraan ikut menguji kestabilan emosi.
Fahira menyeka keringat yang menetes dari dahinya, “Kenapa sih Ramadhan kok panas banget ? Seharusnya kan adem soalnya lagi banyak yang puasa !”, keluhnya untuk kesekian kali, lalu matanya menatap nanar pada iklan teh botol yang dipajang besar-besar dipinggir jalan. Botol teh itu dipenui butir-butir air karena baru keluar dari kulkas dan kesegarannya benar-benar menguji kesabaran “Itu lagi, teh botol, udah tau banyak yang puasa, ga usah narsis gitu, kek..bikin emosi aja”.
Azizah menoleh kearah Fahira dan tersenyum geli, adiknya itu memang suka ceplas- ceplos kalau bicara, “Namanya juga Ramadhan, yang artinya panas yang membakar, berarti bulan Ramadhan memang selalu terjadi di musim yang panas”
“Trus kenapa kita musti puasa di bulan Ramadhan pas lagi panas-panasnya? Kenapa ga’ bulan Februari atau Juni, gitu??”, Fahira mendesak kakaknya, ia memang tidak puas dengan jawaban yang simple.
Azizah tersenyum lagi, “Karena Allah memang mewajibkan kita untuk puasa di bulan Ramadhan. Hikmahnya adalah kebersamaan,  karena bulan Ramadhan sangat panas dan pastinya sulit untuk menahan haus dan lapar, Allah mewajibkan kita puasa di bulan itu agar semua muslim didunia merasakan kesulitan itu bersama-sama. Dengan menanggung kesulitan bersama-sama, akan muncul toleransi, kasih sayang, tolong menolong dan kebersamaan yang indah, begitu adikku sayang”, ujar Azizah sambil mencubit pipi Fahira gemas.
Fahira bersungut karena cubitan kakaknya, tetapi kemudian ia mengangguk-angguk dan terlihat berpikir dalam-dalam. Azizah semakin geli melihat ekspresi serius adiknya itu, sebenarnya ia ingin menggunakan kata-kata yang menurutnya sesuai untuk menasehati anak SD seperti Fahira, tetapi ia ingat respon dan kata-kata Fahira dulu, “Kakak kok cara ngomongnya gitu, sih? Kakak kan udah sarjana, ngomong sama Fahira jangan kaya ngomong sama anak kecil gitu, dong”.
O..O..!! Saat itu rasanya Azizah ingin mengucek-ucek wajah sok dewasa Fahira seperti kucekan baju saat mencuci, ia gemas dengan kata-kata adiknya itu, sok oke sekalee..padahal saat itu dia memang masih kecil, baru juga naik kelas 4 SD !