Nusantara

Friday, April 5, 2013

Mutiara di dalam Pasir



            Aku sudah lama mengenal Adam, anak kecil berumur delapan tahun yang tinggal bersebelahan dengan rumah nenekku di kampung. Setiap setahun dua kali aku dan keluarga berkunjung ke rumah nenek, di hari Lebaran dan liburan sekolah akhir tahun, karena itu aku sering melihat anak kecil periang itu. Adam yang aku kenal adalah anak lelaki bertubuh kurus dan berkulit hitam. Matanya bulat besar sehingga wajahnya semakin terlihat tirus dan kecil. Alis matanya tebal dan senyumnya lebar. Suara Adam juga nyaring, aku sering mendengarnya ketika ia tertawa terbahak-bahak atau ketika ia berjualan keliling kampung.
            Adam sering berjualan apa saja, terkadang ia menjual kue-kue, kemudian menjual ikan, menjual es, menjual sayuran, menjual mainan, menjual sendok dan garpu, menjual buah-buahan, dan jika tak ada yang bisa dijual, ia akan menjual suaranya yang nyaring dan bagus itu, bernyanyi  keliling kampung.
            Karena itu Adam terkenal, semua orang di kampung mengenalnya, anak lelaki yang selalu kelihatan hidup dan penuh semangat. Begitu juga aku dan keluargaku yang hanya sesekali berkunjung ke kampung, jika aku sampai di rumah nenek, maka aku tak akan lupa menanyakan Adam dan ibunya. Bagaimana kabar mereka? Adakah cerita baru tentang Adam? Apakah ia menjadi gemuk? Apakah tawanya semakin keras? dan apakah ia masih sering bernyanyi keliling kampung dengan tabuhan alat musik kayunya?
            Semua tentang Adam menarik perhatianku. Juga sekarang, ketika hari ini hujan lebat mengguyur kampung, anak-anak kecil berlari-lari dibawah hujan dengan hanya memakai celana pendek. Adam ada diantara mereka, berlari-lari sambil tertawa, sesekali ia melompat-lompat diatas air sehingga cipratan-cipratan air membasahinya dan teman-temannya. Mereka kemudian saling mendorong hingga terjatuh diatas lumpur, kemudian tertawa-tawa lagi, dan bekejar-kejaran. Aku ikut tertawa melihat tingkah mereka yang begitu riang dan bebas, apalagi ketika Adam mulai menyanyi dan memasang aksi seolah ia memainkan gitar, tingkahnya benar-benar lucu. Aku sampai betah memperhatikan mereka dari teras rumah nenek yang terlindung dari hujan. Ingin rasanya aku ikut bermain dengan anak-anak kecil itu.
            Awalnya aku tidak setertarik ini dengan Adam, anak kecil yang tinggal dengan ibunya di gubuk bambu mereka itu hanya kuanggap tetangga biasa. Apalagi aku yang jarang datang kerumah nenek, membuat tiap kejadian dalam hidup Adam dan ibunya bagaikan angin lewat saja, tak berarti apa-apa. Tetapi kemudian, dua tahun lalu, di suatu hari ketika matahari sore bersinar hangat, aku melihat Adam sedang duduk diatas dipan bambu, dibawah pohon jambu air yang ada didepan rumahnya. Pohon itu berdaun sangat rindang, angin sore membuat daun-daunnya tertiup bergerak, dimataku daun-daun itu seperti menari mengikuti irama ketukan-ketukan tangan kurus Adam diatas gendang kecil dari kayu.
            Aku memperhatikan tingkah Adam dan ikut menikmati irama musiknya yang lumayan menyenangkan. Semalam tanpa sengaja nenekku bercerita tentang Adam yang yatim, ayahnya meninggal ketika ia masih berumur 4 tahun. Sedangkan ibunya sudah lumayan tua karena menikah diusia yang tak muda. Adam kecil tumbuh dengan rasa prihatin yang tinggi, ia begitu peduli dengan ibunya, karena itu ia tak segan-segan bekerja apa saja untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Walaupun begitu, ia tak pernah terlihat sedih, kehidupan dan kerja keras dijalaninya dengan tawa lepas dan polos khas anak-anak. Ia bebas dan bahagia. Begitu aku menilainya.
            Karenanya disore hari itu aku menghampirinya untuk pertama kali. Umur Adam masih 6 tahun saat itu. Ia mengenakan kaos biru kebesaran dan celana pendek hitam. Aku duduk disampingnya dan tersenyum.
“Berlatih, Dam?”, aku memulai obrolan.
Adam menoleh dan nyengir lebar. Ia menghentikan ketukan-ketukan iramanya diatas gendang kayu, “Iya kak, Adam mau nyanyi keliling kampung. Kakak namanya kak Aisyah, ya?”
Aku mengangguk. Umurku dan Adam berbeda 9 tahun. “Mainkan saja lagi, kakak senang mendengarnya”, ujarku. Adam tersenyum dan mulai memainkan alat musiknya lagi, sebuah gendang kecil dari kayu. Kali ini ia tak hanya bermain musik, tetapi juga bernyanyi pelan-pelan. Walaupun pelan aku bisa mendengar kemerduan suaranya.
“Adam tak pernah sedih, ya?”, tiba-tiba aku bertanya. Tetapi kemudian merasa bahwa pertanyaanku terdengar aneh. “Mmm..maksud kakak...”, sambungku bingung untuk menjelaskan.
“Mengapa harus sedih?”, Adam balik bertanya. Seperti dugaanku, pertanyaanku yang asal itu pasti membuat orang lain bingung. Aku tak bisa menjawab pertanyaan Adam.
“Ibu Adam bilang, kita tidak boleh sedih karena sedih itu tandanya tidak bersyukur”, anak kecil umur 6 tahun itu menjelaskan kepadaku dengan gaya polosnya. Aku yang sudah dewasa berumur 15 tahun saat itu, tertarik dengan keluguannya.
“Trus ibu Adam bilang apa lagi?”
Adam terlihat berpikir, kemudian katanya, “Ibu bilang, manusia itu makhluk ciptaan Allah paling istimewa, karena itu Allah sangat sayang dengan manusia, makanya kita tidak boleh sedih”. Aku mengangguk, Adam terlihat berpikir-pikir lagi, matanya yang bulat melihat keatas.
“Ibu juga bilang, setiap yang diciptakan Allah punya keistimewaan dan tujuannya masing-masing. Walaupun ia hanya sebutir pasir”. Kata-kata yang indah, walaupun keluar dari mulut seorang bocah, tetapi terdengar begitu berharga bagiku.
“Kakak tunggu disini, ya..Adam punya sesuatu”, ujarnya tiba-tiba. Aku mengangguk dan melihatnya berlari masuk kedalam rumah gubuknya. Beberapa menit kemudian ia keluar sambil tersenyum lebar, gigi-giginya yang putih terlihat. Ditangannya ada sebuah majalah.
“Kakak lihat ini! Bagus, kan??”, tanyanya sambil menyodorkan majalah itu kepadaku. Aku memperhatikan gambar yang ia tunjuk, sebuah gambar dari bebatuan bumi yang berwarna-warni. Batu-batu itu terlihat bertumpuk dan berkilat, ada warna hitam, kuning, putih, orange dan pink. Ketika aku membaca penjelasan dibawahnya, betapa terkejutnya aku, ternyata itu bukan bebatuan mulia seperi yang aku kira, melainkan pasir yang telah diperbesar sebanyak 110 kali dengan menggunakan mikroskop Edge 3D. Benar-benar menakjubkan!
“Kakak lihat, kan..ternyata pasir yang kecil itu sebenarnya sangat indah, tetapi kita tidak bisa melihat keindahan itu dengan mata kita, harus dengan bantuan alat. Ibu Adam bilang, kalau kita melihat semua yang ada dibumi ini dengan mata saja, itu tidak cukup, kita juga harus menggunakan otak dan hati agar semuanya terlihat indah”.
Aku tercengang mendengar ucapan Adam. Ia sangat cerdas, semua yang diucapkan oleh ibunya ia dengarkan dan pahami baik-baik. Tak hanya itu, ia mampu merealisasikannya dalam setiap gerakan hidupnya. Adam benar-benar anak yang luar biasa. Terjawab sudah rasa penasaranku sejak nenek bilang Adam adalah juara kelas yang sangat pintar. Ternyata benar, anak yatim, miskin dan berkulit hitam ini memang seperti mutiara yang bersinar diatas tumpukan pasir kesulitan yang dihadapinya. Ia adalah mutiara yang cahayanya mampu menyinari dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya.
“Karena itu, kak..semua kesulitan di hidup kita juga pasti ada keindahannya, jadi tak ada yang tak bisa disyukuri. Ibu Adam bilang, kesulitan hidup itu seperti pelajaran, saat kita menghadapinya, kita mendapat ilmu baru. Ia seperti mutiara yang ada didalam tumpukan pasir, tugas kita adalah mencarinya”
Aku masih tak mampu berkata-kata lagi, sedikit tak yakin bahwa kata-kata itu keluar dari mulut seorang anak berumur 6 tahun. Adam pasti meniru dengan baik kata-kata ibunya. Tetapi yang paling menakjubkanku adalah sikapnya yang bisa mengambil hikmah mutiara dari tiap kejadian hidup yang ia lewati. Sungguh, aku terpesona dengan anak kecil kurus berkulit hitam ini.
Maka mulai hari itu dan seterusnya, kisah hidup Adam adalah kisah yang selalu aku nanti-nantikan untukku dengar, dan melihat tawanya adalah hiburan paling kurindukan ketika berada di kampung nenekku. Maha suci Allah, aku begitu bersyukur bisa mendapat pelajaran hidup dari anak kecil bernama Adam. Semoga Allah terus menjaganya dan membuatnya tetap kuat dan bahagia seperti saat ini.
           
           


No comments:

Post a Comment