Nusantara

Saturday, September 29, 2012

Khitbah ( Meminang)



                       

Pengertian Khitbah dan adab melakukannya.

   Khitbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara yang dikenal di tengah masyarakat. Jika telah terjadi kesepakatan atau janji pernikahan, peminang dan wanita yang dipinang tetap harus bersikap seperti ajnabi ( orang asing) dan terikat pada hukum-hukum tertentu sampai terjadinya akad pernikahan diantara keduanya[1]. Adab melakukannya adalah :

a.  Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya,Boleh dinyatakan secara terang-terangan.
b.      Pinangan kepada waniya yang masih ada dalam iddah talak bai’in atau iddah di tinggal mati suaminya.Tidak boleh di nyatakan secara terang-terangan.Pinangan kepada mereka hanya boleh dinyatakan secara sindiran saja. “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran,atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (Al-Baqoroh : 235)[2]

Sifat-sifat wanita yang dianjurkan untuk dipinang/dinikahi[3] : 

1.  Disunnahkan untuk melihat pada agamanya. Sehingga wanita tersebut memiliki sifat adil, ketaatan kepada Tuhannya dan menjaga kehormatan. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:  Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari)

2.      Perawan. Memilih wanita yang masih perawan sangat dianjurkan karena bisa memberikan rasa kasih sayang yang lebih dari suaminya, membuat perasaan cinta antara keduanya lebih sempurna karena tidak adanya rasa cemburu dari mantan suami sang wanita. Dari Aisyah r.a, ia berkata; Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika engkau pergi ke sebuah lembah dan di lembah tersebut terdapat sebuah pohon yang sebelumnya telah dimakan (oleh hewan gembalaan) dan engkau mendapatkan pohon yang lain yang sama sekali belum dimakan (oleh hewan gembalaan) maka pohon manakah yang akan engkau gembalakan ontamu?”, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pada pohon yang belum dimakan oleh hewan gembalaan” Maksud ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikahi seorang gadis perawanpun kecuali dia.(HR.Bukhori)

3.      Jelas nasabnya. Wanita yang jelas nasabnya berarti jelas garis keturunannya. Apakah ia berasal dari keluarga baik-baik ataukah tidak. Apakah orang tuanya soleh dan keluarganya taat beragama. Karena dengan demikian maka sifat-sifat terpuji atau tercela bisa diketahui dengan lebih mudah. Bukan berarti nasab adalah kekayaan dan kedudukan wanita tersebut, tetapi lebih kepada posisinya dan keluarganya.


4.      Dianjurkan tidak berasal dari keluarga dekat, tetapi berasal dari keluarga jauh ataupun orang asing lebih baik. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa  jika suatu saat terjadi perceraian dan akhirnya terputus silaturrahmi dengan kerabatnya tersebut, padahal diperintahkan untuk menyambung silaturrahmi. Ada hadist yang mengatakan ; “Janganlah kalian menikah dengan kerabat yang dekat (nasabnya) karena sang anak akan lahir dalam keadaan lemah”. Ibnu As-Solah mengomentari hadits ini, “Aku tidak menemukan bagi hadits ini asal yang bisa dijadikan pegangan”. Dan Berkata Ibnu Hajar, “Adapun pendapat sebagian penganut madzhab syafi’iah bahwasanya disunnahkan agar sang wanita (calon istri) bukan dari karib kerabat dekat. Maka jika landasan pendapat ini adalah hadits maka sama sekali tidak ada, dan jika landasannya kepada pengalaman yaitu kebanyakan anak dari pasangan suami istri yang dekat hubungan kekerabatan mereka berdua adalah anak yang bodoh, maka bisa dijadikan landasan (jika memang terbukti pengalaman tersebut)…”. 

5.      Wanita yang sangat penyayang dan subur. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu  berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat(HR.Ibnu Hibban)

6.      Berparas cantik/menarik. Diriwayatkan dari Rosulullah SAW, bahwa beliau bersabda; “ Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling cantik/ menarik wajahnya dan paling sedikit maharnya

7.      Wanita yang baliqh dan berakal.

8.      Yang sedikit maharnya. Berkata Aisyah r.a, “Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling mudah maharnya”.(HR. Ahmad, Hakim dan Baihaqi)

9.      Wanita yang berakhlak mulia.

Sifat-sifat dari lelaki yang dianjurkan untuk menikah dengannya :

Semua sifat yang dianjurkan dari seorang wanita juga berlaku untuk lelaki, hanya berhati-hati saat memilih wanita yang akan dinikahi lebih didahulukan. Karena wanita adalah teman yang selalu mendampingi perjuangan suaminya. Selain itu hak untuk mentalaq berada ditangan suami.
Walaupun begitu, memilih lelaki untuk dijadikan suami juga perlu diperhatikan oleh wanita, apalagi walinya. Dari Abu Hurairoh, Rosulullah SAW bersabda, “ Jika seorang datang mengajukan pinangan kepadamu yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia(dengan anakmu), jika tidak maka akan tersebar fitnah di dunia dan akan terjadi kerusakan yang besar”(HR.Tirmidzi). Seorang lelaki berkata kepada Hasan Ibnu Ali, “Aku memiliki seorang anak perempuan, bagaimana pendapatmu tentang lelaki yang akan aku nikahkan dengannya?”.Hasan menjawab, “ Nikahkanlah ia dengan lelaki yang bertakwa kepada Allah.  Jika ia (lelaki itu) mencintainya, maka ia akan menghormatinya. Dan jika ada yang tidak ia suka darinya, maka ia tak akan mendzoliminya”.

Hukum melihat wanita pinangan[4] :

Islam sangat menjunjung tinggi kekekalan rumah tangga, begitupun rasa cinta dan kasih sayang antara suami istri. Karena itu dibolehkannya peminang dan wanita yang dipinang melihat satu sama lain. Sehingga muncul ketenangan dihati keduanya dan menghilangkan keraguan-keraguan sebelum menikah, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Harus berazzam(niat kuat) untuk menikah.
2.      Niat harus berlandaskan pinangan, bukan untuk melihat aurat muslim yang lain
3.      Melihat harus terbebas dari fitnah dan khuluwah (berdua dengan selain mahram)
4.      Yang dilihat harus sesuai dengan peraturan syari’at.
5.      Lelaki yang meminang harus tahu bahwa wanita pinangannya bebas dari ikatan nikah dan iddah.
Lelaki dan wanita yang sudah bertunangan juga diperbolehkan menyampaikan kekurangan dan keburukan masing-masing, hal ini diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai ghibah yang haram.

Dalil yang memperbolehkan melihat[5] :

·         Dari Mughirah Ibnu Syu’aibah bahwa ia meminang seorang wanita, maka Rosulullah SAW berkata kepadanya, “Lihatlah ia, maka hal itu membebaskan dari penyesalan antara kalian berdua”(HR. Tirmidzi)
·         Hadist Rosulullah SAW dalam kisah Jabir; “Jika salah seorang dari kalian meminang wanita dan ia bisa melihat kepada hal yang membuatnya ingin menikahinya, maka lakukanlah” (HR. ABU Daud dan Hakim)

Batasan yang boleh dilihat dari wanita yang dipinang[6]:

Ada beberapa pendapat ulama tentang batasan anggota badan yang boleh dilihat oleh lelaki peminang terhadap pinangannya, tetapi pendapat Jumhur Ulama dianggap paling sohih;
·         Pendapat Jumhur Ulama, hanya boleh melihat wajah dan dua pergelangan tangan. Dengan dalil surat an-Nuur:31: “Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak darinya”. Hikmah dari hanya diperbolehkannya melihat dua anggota tersebut, bahwa wajah mewakili kecantikan, dan dua pergelangan tangan sebagai bukti kesuburan.
·         Menurut mazhab Hanbali juga boleh melihat leher, dua tangan dan dua kakinya.
·         Mazhab Ibnu Hazm dan Daud membolehkan melihat seluruh anggota tubuhnya.

Hukum meminang wanita yang telah dikhithbah[7] :

·         Jika wanita yang sudah dipinang telah memberikan jawaban untuk menerima pinangan lelaki pertama, maka diharamkan untuk lelaki kedua meminangnya. Berdasarkan hadist Rosulullah SAW, “Tidaklah seorang muslim meminang diatas pinangan muslim yang lain, kecuali peminang meninggalkannya(pertunangan tersebut) atau memberikan izin kepadanya” (HR.Bukhori). Hadist ini juga menjelaskan jika lelaki pertama yang meminang telah elepas pinangannya dan telah memberi izin kepada lelaki kedua, maka lelaki kedua boleh mengajukan pinangan.
·         Jika wanita yang telah dipinang telah menolak lelaki pertama maka dibolehkan meminang wanita tersebut dengan izinnya dan walinya.
·         Jika wanita yang telah dipinang belum jelas bahwa ia menerima pinangan lelaki pertama, tetapi lelaki kedua mengetahui bahwa wanita tersebut mencintainya, terdapat dua pendapat dari Imam Syafi’i; -Qadim : lelaki kedua haram mengkhitbahnya, -Jadid : Boleh mengkhitbah.
·         Jika tidak terdapat jawaban menerima atau menolak atas pinangan pertama, maka lelaki kedua boleh meminangnya.

 Hal-hal yang sunnah/dianjurkan dilakukan saat khitbah dan pernikahan[8] :

1.      Disunnahkan untuk menyampaikan khutbah sebelum acara khitbah dan pernikahan dengan syarat tidak terlalu panjang.
2.      Disunnahkan untuk berdo’a setelah akad dan menyampaikan do’a kepada kedua mempelai ketika bertemu dijalan, contohnya dengan mengucapkan “Barakallah lakuma wal barakah ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khair”
3.      Disunnahkan untuk menghadirkan banyak ahli soleh sebagai saksi agar lebih dari dua orang saksi dalam akad.
4.      Wali mewakilkan perwaliannya kepada orang yang lebih soleh dan lebih mulia.
5.      Dibolehkan memainkan rebana dan alat-alat musik
6.      Mencium kening istri setelah akad nikah dan berkata, “Semoga Allah memberkahi kita”
7.      Membawa hadiah untuk pengantin
8.      Mengenakan perhiasan ketika menikah
9.      Boleh membawa wanita dan anak kecil diacara pernikahan dengan tetap memperhatikan batasan syari’at pada pakaian dan perhiasan.
10.  Wanita boleh bercampur dengan lelaki diacara pernikahan dengan tetap memperhatikan batasan pada pakaian, suara dan gerakan.
11.  Disunnahkan untuk melaksanakan resepsi dan menyebarkan undangan.


[1] Fiqh Sunnah lin-Nisaa’. Abu Malik Kamal Ibn Sayid Salim. Daar At-Taufiqiyah, 2009, hal 458
[2] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal 28
[3] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal  48


[4] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal  52



[5] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal  54
[6]Fiqh Sunnah lin-Nisaa’. Abu Malik Kamal Ibn Sayid Salim. Daar At-Taufiqiyah, 2009, hal 460
[7] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal  62

[8] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal  74

No comments:

Post a Comment