Nusantara

Monday, October 1, 2012

Fikih Nikah


                                                                                                                          *Forum Kajian Fikih

Pengertian Nikah

Secara bahasa Nikah berasal dari kata  الضم(menggabungkan) dan الجمع (mengumpulkan/menghimpun) sebagaimana dalam kalimatتناكحت الأشجار (mengawinkan tumbuhan) apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan dengan lainnya[1]. Dalam perkataan Arab bermakna العقد(akad) dan الوطء (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim. Apabila dikatakan nakaha bint fulan, maksudnya melakukan akad nikah dengan wanita anak si fulan. Namun jika dikatakan, nakaha zaujatahu, maka maksudnya al-wath’u (menyetubuhi). Jadi kedua makna tersebut memiliki kesamaan arti tergantung kata yang disandarkan kepadanya. Jika kata nikah disandarkan kepada wanita asing, maka maksudnya adalah akad, tetapi jika disandarkan kepada hal yang mubah (diperbolehkan), maka maksudnya adalah wath’u (bersetubuh). Menurut pendapat kalangan Syafi’iyah dan perkataan Abu Hanifah lafaz akad bersifat majaz yang mengandung arti wath’u, karena pada hakikatnya maksud dari nikah adalah berhubungan intim[2].

Secara istilah disebutkan dalam Syarhu al-Manhaj, bahwa nikah dalam istilah syar’i berarti suatu akad (sebuah ikatan) yang menjadikan sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan menggunakan lafadz nikah atau perkawinan[3].

Dalil disyari’atkannya Nikah[4]

             Dari al-Qur’an :
·         Allah SWT berfirman; “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada  Tuhanmu yang telah menciptkanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak..(An-Nisa : 1).
·         Dalam surat An-Nisa ayat 3 disebutkan ; “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

     Dari Hadist:
·         Dari Anas, Rosulullah bersabda : “Barang siapa yang diberi rizki oleh Allah dengan wanita solihah maka Allah telah menolong setengah agamanya, maka bertakwalah kepada Allah untuk setengah yang lain”.[5]
·         Dari Abu Hurairah, Rosulullah bersabda : “Barang siapa yang mencintai fitrahku, maka berbuatlah dengan sunnahku, dan dari sunnahku adalah pernikahan”[6]

Hikmah dalam Pernikahan[7]

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala kebutuhanya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok sebagai urgensi kelangsungan hidupnya, contohnya makan, minum dan kebutuhan biologis. Karena itu Islam memerintahkan untuk menikah karena pernikahan memiliki hikmah dan manfaat yang besar ;

1)      Menjalankan perintah Allah SWT, seperti yang tertuang dalam firman-Nya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (An-Nuur : 32)
2)      Meneladani Sunnah Rasulullah SAW . Sebagaimana dikisahkan dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah didatangi oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shalat malam secara terus menerus, yang  kedua mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr). Adapun yang ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah marah dan mengatakan bahwa barangsiapa yang membenci sunnah beliau, maka ia bukan dari golongannya. (HR. al-Bukhari)
3)      Memperbanyak jumlah Muslim di dunia. Rosulullah bersabda,“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku (pada hari kiamat) (HR. Abu Daud)[8].
4)      Mendapatkan generasi yang siap berjihad dijalan Allah. Dikisahkan dalam hadits, bahwa suatu ketika Sulaiman bin Daud AS berkata, “Sungguh pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau dikatakan, sembilan puluh sembilan). Setiap dari mereka akan melahirkan para penunggang kuda yang siap berjuang di jalan Allah.” Maka shahabatnya berkata kepadanya, “Ucapkanlah insyaAllah (jika Allah menghendaki).” (Akan tetapi) dia lupa untuk mengucapkan insyaAllah, maka tidak ada seorangpun dari isterinya yang hamil melainkan hanya satu saja yang kemudian melahirkan separuh lelaki. Maka Rasulullah bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman) mengucapkan insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) akan menjadi penunggang kuda yang siap berjihad di jalan Allah”. (HR. Bukhari)[9].
5)      Dengan menikah bisa memperoleh keturunan yang bisa mendo’akan setelah meninggal. Diriwayatkan dalam hadist bahwa Rosulullah bersabda, “Ketika manusia meninggal dunia maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; sadaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang berdo’a untuknya”. (HR.Muslim)[10]
6)      Menjaga kemaluan, menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita. Islam memandang pernikahan sebagai benteng yang menjaga manusia dari kerusakan. Rasulullah SAW bersabda:“Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya.(HR. Muslim).
7)      Meredam syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu yang halal untuk mendapatkan pahala dan ridho Allah. Diriwayatkan ketika para sahabat bertanya kepada Rosulullah, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Tidakkah kalian ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia akan mendapatkan dosa? Begitupun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala”. (HR. Muslim)
8)      Mencegah tersebarnya perzinaan dan penyakit menular di kalangan umat Islam.  Rasulullah SAW pernah bersabda,“Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah, semoga kalian terhindar darinya. Lima perkara itu ialah; Tidak merajalela praktek perzinaan pada suatu kaum sampai mereka berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang lalu…”. (HR. Ibnu Majah).
9)      Menikah mendatangkan kekayaan, menghilangkan kemiskinan dan dimudahkannya keinginan. Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim, bahwa Abu Bakar As-Siddiq berkata, “Taatlah kepada Allah atas perintahNya untuk melaksanakan nikah, memudahkan kalian kepada kekayaan yang kalian inginkan. Dan Allah SWT berfirman: “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nuur: 32)
10)  Dalam pernikahan terdapat sebaik-baiknya perhiasan dunia. Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita solehah. Dari Abdullah Ibnu Umar, Rosulullah bersabda; “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solehah.” (HR. Muslim).[11] Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada Umar Bin Khattab r.a:  “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi maka ia (wanita itu) akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud )

Hukum Nikah

Nikah terbagi dalam beberapa hukum :

1.      Mubah : Asal hukum dari nikah adalah ibahah, maka mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram[12].
2.      Mustahab/ sunnah : Bagi orang yang memiliki keinginan kepada wanita tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, dan ia mampu secara materi untuk mahar dan nafkah. Begitu pula dengan wanita yang  ingin menikah karena khawatir dengan gangguan dan butuh nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya.
3.      Wajib : Nikah menjadi wajib bagi orang yang mampu dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan nikah maka hukumnya menjadi wajib. Karena itu wajib bagi keluarga dekat dan wali dari yatim untuk menikahkan orang yang berada dalam tanggungan mereka yang membutuhkan pernikahan. Dalam hadist dari Abu Hurairah, Rosulullah bersabda : “Tiga orang yang Allah berhak menolong mereka; Pejuang di jalan Allah, budak yang ingin menebus dirinya, dan orang yang menikah untuk menjaga kehormatan” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim)[13]
4.      Fardhu Kifayah : Bagi umat untuk menjaga kelangsungan keturunan.
5.      Makruh : Bagi orang yang tidak memiliki kesiapan, berdasarkan ayat al-Qur’an; “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nuur :33). Dan menjadi makruh pula bagi orang yang tidak membutuhkan menikah. Tetapi jika ia tidak menginginkan nikah, siap secara materi, dan tidak memiliki hambatan meninggalkan nikah seperti adanya penyakit atau tua, maka lebih baik untuknya melaksanakan pernikahan karena lebih menjaga dari perbuatan tercela.

Lalu bagaimana hukum menikah bagi orang yang siap, tidak memiliki halangan penyakit atau lainnya, tetapi ia tidak  menginginkan pernikahan dengan alasan ibadah?

Dalam masalah ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa perbuatan tersebut tidak makruh dan tercela. Contoh dari ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam kesibukan mencari ilmu, sehingga meninggalkan pernikahan lebih baik baginya jika menjadi penghalang dalam ibadahnya dan pada kondisi tidak membutuhkan perempuan padahal ia mampu. Karena pernikahan termasuk jenis mu’amalat yang boleh dilakukan oleh muslim maupun kafir dengan maksud menjaga syahwat dan kepentingan pribadi. Sedangkan dalam kesibukan beribadah maka perbuatannya hanya untuk Allah SWT berdasarkan firman Allah; “ Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Az-Zariyaat : 56). Berdasarkan ini, maka ibadah lebih baik baginya dari pernikahan, kecuali jika orang tersebut membutuhkan perempuan, maka maksud nikah menjadi pensucian agama dan diri dari zina.

Imam Hanafi berpendapat bahwa menikah lebih baik dari pada mementingkan ibadah yang berhukum sunnah, karena dalam syari’at Islam berkeluarga lebih baik dari pada ber’uzlah untuk ibadah[14].

A.    Akad Nikah :

Rukun akad nikah:
Rukun nikah menurut hanafiyah hanya satu yaitu shigoh (ijab dan Kabul). Sedangkan rukun nikah menurut jumhur adalah : shigoh (ijab, Kabul), istri, suami, dan wali.

Shigoh (ijab dan Kabul)
Ijab atau penawaran adalah kalimat yang lebih dulu disandarkan oleh salah satu pihak, yang menunjukan adanya keinginan untuk melaksanakan akad nikah.
Sedangkan Kabul adalah kalimat yang disandarkan oleh pihak kedua yang menunjukan adanya kesepakatan atau penerimaan atas tawaran pihak pertama.

Lafaz shigoh
Lafaz shigoh akad nikah yang disepakati dan diakui keabsahannya adalah dua lafaz yang terdapat dalam alquran, yaitu : lafaz zawaj (﴿ زوجناكم﴾ (زواج dan nikah (نكاح) و لا تنكحوا ما نكح آباؤكم﴾    ﴿.

Syarat-Syarat pada Akad :

Terdapat 4 syarat dalam akad nikah:
1.      Syarat  terjadinya akad ( (شروط الانعقاد
2.      Syarat sahnya akad (شروط الصحة)
3.      Syarat berlangsungnya akad ( (شروط النفاذ
4.      Syarat terikatnya akad ((شروط اللزوم

1.      Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah syarat yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad, yang apabila tidak terpenuhi, maka akad dianggap batal.
·         syarat yang harus dipenuhi oleh suami dan wali ('aqidani)
v  Tamyiz : bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk.
v  Dapat saling memahami maksud satu sama lain dalam pelaksanaan akad agar kedua pihak saling meridhoi satu sama lain. Dalam madzhab hanafiyah ridho untuk melaksanakan akad bukanlah syarat terjadinya akad, maka menurut mereka akad tetap terlaksana walaupun salah satu pihak terpaksa melaksanaknnya.
·         Syarat yang harus dipenuhi oleh istri
v  Istri adalah seorang perempuan.
v  Istri bukanlah mahrom bagi suaminya.
·         Syarat yang harus dipenuhi dalam ijab-kabul (shigoh)
v  Ijab-kabul dilakukan pada waktu dan tempat yang sama.
Maka, apabila ijab telah ducapkan oleh pihak pertama, pihak kedua harus segera mengucapkan kabulnya tanpa jeda waktu yang lama.
Apabila salah satu pihak tidak bisa hadir dalam akad nikah, dan mengirimkan surat untuk melakukan akad nikah. Maka, menurut hanafiyah majlis akad pada akad seperti ini adalah tempat dibacakannya surat dihadapan para saksi.
v  Sesuainya Kabul dengan ijab
v  Ijab tidak dibatalkan sampai saat kabul
v  Ijab-kabul mutlak, tidak terikat.

Pandangan 4 madzhab akan syarat pada akad:
Para ulama sepakat bahwa syarat yang baik dan sesuai dengan akad dan syariat adalah sah, dan syarat yang tidak seusai dengan akad dan syariat tidaklah sah.
Bagaimana hukumnya pernikahan yang bersyarat fasid?
Menurut hanafiyah, apabila suatu pernikahan terlaksana dengan syarat yang fasid (tidak baik) maka, hukum pernikahan tetap sah selama terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, hanya syarat fasid tersebut saja yang batal. Hanabilah memiliki pandangan yang sama akan hal ini dengan hanafiyah, hanya saja mereka berbeda apabila syarat fasid tersebut adalah penjangkaan pernikahan. Hanabilah berpendapat bahwa pernikahan dengan syarat seperti ini adalah membatalkan akad nikah.
Syafiiyah berpendapat bahwa syarat yang membatalkan akad nikah adalah syarat yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dasar pernikahan. Maka, apabila syarat fasid tersebut tidak bertentangan, tidak merusak akad nikah dan hanya syaratnya saja yang batal.
Sedangkan malikiyah berpendapat bahwa semua pernikahan yang terjadi dengan syarat yang fasid haruslah dibatalkan, apabila belum terjadi hubungan suami istri. namun, apabila hubungan suami istri telah terjadi maka pernikahan dilanjutkan, tapi syarat dibatalkan.

1.      Syarat sahnya akad
a)      Perempuan yang dinikahi bukanlah mahram suami.
Apabila seseorang menikahi mahromnya, maka akad tersebut dianggap fasid. Maka kedua suami istri harus dipisahkan secara paksa apabila tidak berpisah dengan sendirinya. Apabila telah terjadi hubungan suami istri pada pernikahan seperti ini, maka untuk sang istri mahal yang terkecil diantara mahal mitsli dan mahar musamma. Istri wajib menjalani masa 'iddah. Dan apabila memiliki anak, nasab keturunan tetap mengikuti ayah.
b)      Ijab-kabul tidak terikat oleh waktu.
Para ulama sepakat akan batalnya ijab-kabul yang terikat oleh waktu tertentu.
ü  Hukum nikah mut'ah (kawin kontrak).
Kawin kontrak adalah pernikahan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu. Hukum pernikahan seperti ini adalah haram. Kawin kontrak yang diharamkan adalah pernikahan yang jangka waktunya disebutkan dalam ijab-kabul. Maka, apabila jangka waktu tidak disebutkan dalam ijab-kabul, namun jangka waktu telah disepakati, maka pernikahan tersebut adalah makruh. Karena tujuan pernikahan itu hanya untuk kenikmatan duniawi.
·         Dalil pengharaman kawin kontrak:
Allah SWT berfirman; “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nuur :33).
Berkata Sabrah Ibnu Mu’bad, “Sesungguhnya Rusulullah SAW ketika haji Wada’ melarang nikah mut’ah” (HR.Ahmad dan Abu Daud)

ü  Hukum pernikahan tahlil
Pernikahan ini adalah pernikahan yang dilakukan agar suami pertama bisa menikahi mantan istrinya yang sudah ditalak 3.
Hukum pernikahan seperti ini adalah haram, dan apabila terjadi maka pernikahan dianggap batal. Terdapat 3 jenis pernikahan tahlil

c)      Saksi.
·         Para ulama sepakat bahwa saksi adalah syarat sahnya akad nikah. Seperti sabda Rasulullah Saw, “Tidak (sah) pernikahan tanpa adanya wali dan saksi yang adil”. Guna menegaskan hal ini, ulama malikiyah mengatakan bahwa penikahan sirri (yaitu pernikahan yang disembunyikan keberadaannya) tidak sah, dan harus dihapus. Sedangkan hanabilah berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak harus dihapus, hanya saja hukumnya makruh.
·         Waktu kesaksian.
Jumhur ulama selain malikiyah berpendapat bahwa waktu kesaksian adalah harus ketika pelaksanaan akad nikah, sehingga saksi menyaksikan terjadinya ijab-kabul antara dua belah pihak.
Sedangkan malikiyah berpendapat bahwa waktu kesaksian adalah, antara pelaksanaan akad nikah sampai terjadinya hubungan suami istri. Dan kesaksian pada waktu pelaksanaan akad bukanlah suatu keharusan, melainkan sesuatu yang dianjurkan.
·         Hikmah adanya saksi.
Hikmah adanya saksi adalah menjadi bukti akan adanya pernikahan yang sah antara kedua mempelai. Dan guna menyebarkan kabar akan pernikahan tersebut. Oleh sebab itu disunnahkan pada pernikahan untuk menyebarkannya dan mengadakan pesta atau walimah.
·         Syarat saksi.
v  Berakal.
v  Baligh
v  Lebih dari Satu (dua)
v  Laki-laki
Hanya hanafiyah yang membolehkan wanita menjadi saksi dalam pernikahan. 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan adalah saksi yang sah menurut hanafiyah.
v  Merdeka
v  Adil (memiliki nama baik)
v  Islam
v  Dapat melihat.
Hal ini adalah syarat saksi bagi syafiiyah. Sedangkan bagi madzhab lain, seorang buta adalah saksi yang sah apabila ia dapat mendengar dan menyimak dengan baik suara piha-pihak yang berakad, juga bisa membedakan suara asli dan tipuan.
v  Dapat mendengar dan memahami ucapan pihak-pihak yang berakad.
d)     Adanya ridho tanpa keterpaksaan dalam akad nikah.
Maka, apabila pernikahan terjadi karena keterpaksaan atau ancaman pernikahan tersebut adalah pernikahan yang fasid. Namun ini adalah syarat bagi jumhur ulama kecuali hanafiyah.
e)      Menyebutkan nama kedua mempelai.
Hal ini adalah syarat bagi syafiiyah dan hanabilah.
f)       Para pihak yang terkait dalam akad tidak sedang berihram (wali, suami, istri).
g)      Adanya mas kawin (mahar).
Mahar atau mas kawin adalah syarat sahnya pernikahan bagi malikiyah. Namun mas kawin tidak harus disebutkan ketika akad nikah, hanya dianjurkan. Maka, menurut malikiyah pernikahan yang disyaratkan tanpa mahar adalah fasid.

Namun menurut jumhur ulama, mas kawin bukanlah bagian dari rukun ataupun syarat sahnya akad nikah, melainkan konsekuensi dari pernikahan. Maka,mas kawin haruslah dipenuhi walaupun kedua pihak telah sepakat akan peniadaan mas kawin.
h)      Kehadiran wali.
adalah syarat bagi selain hanafiyah. Maka, seorang wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa wali menurut jumhur ulama selain hanafiyah.

2.      Syarat berlangsungnya pernikahan
Hanafiyah mensyaratkan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad nikah, setelah terjadinya akad:
a)      Para mempelai harus memenuhi syarat apabila mereka menikahkan diri mereka sendiri.
b)      Wali yang menikahkan haruslah wali yang terdekat hubungan kekerabatannya dengan mempelai wanita.
c)      Seorang wakil harus melakukan sesuai keinginan pihak yang ia wakilkan
d)     Pihak yang berakad haruslah pihak yang memiliki kepentingan

3.      Syarat terikatnya akad
Apabila syarat ini terpenuhi, maka masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad tanpa persetujuan pihak yang lain. Syarat-syaratnya adalah:
·        Wali yang menikahkan seorang yang masih kecil, bodoh, dsb. Haruslah ayah atau kakeknya.
·        Suami haruslah satu kufu (derajat) dengan istrinya. Suami harus terbebas dari aib atau penyakit

Akad yang bebas dan yang terikat[1]
1.      Akad yang bebas, atau akad yang biasa terjadi dalam majlis akad. Tidak disandarkan pada waktu tertentu dan tidak terikat dengan syarat tertentu.
2.      Akad yang dikaitkan dengan syarat. Yaitu mengikat satu perkataan dengan perkataan lain. Misalnya seorang berkata, “Kalau kamu lulus ujian, akan kunikahkan kau dengan anak perempuanku”, akad tetap dianggap tidak terjadi walaupun orang tersebut lulus ujian. Tetapi jika ia berkata, “Aku akan menikahkan kau dengan anakku jika kau seorang dokter”. Ternyata lelaki tersebut adalah dokter dan menjawab dengan qobul, maka akad dianggap sah. Begitu pula jika seorang perempuan berkata, “Aku akan menikah denganmu jika ayahku ridho”, kemudian ayahnya berada ditempat itu dan ridho, lelaki tersebut menjawab qobul, maka akad menjadi sah.
3.      Akad yang disandarkan pada waktu yang akan datang. Misalnya seorang lelaki mengatakan kepada perempuan, “Aku akan menikahimu bulan depan”, dan perempuan menjawab, “Aku menerima”, hal tersebut tidak disebut akad karena terikat pada waktu yang akan datang.
4.      Akad dengan syarat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dengan melihat dampaknya pada pernikahan. Madzhab As-Syafii membagi persyaratan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

·         Adapun syarat yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan hukum syar’i tentang mutlaknya akad, contohnya lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk berpergian bersamanya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena boleh dilakukan meskipun tanpa syarat.

·         Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam: a-Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. b- Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. c- Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. d- Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi’i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh.


Jenis- Jenis Akad Nikah[2] :

1.      Akad Shohih (Sah) : Yaitu apabila telah sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya, sehingga menjadi sah nikahnya dengan rukun dan syarat sah pernikahan tersebut. Akad yang shohih dan pernikahan yang shohih ini mengharuskan terjadinya hal-hal yang telah dijelaskan syari’at tentang hak-hak dan kewajiban dalam pernikahan, seperti halal bersetubuh, mahar, nafkah, dan lain sebagainya.
2.      Akad Bathil : Jika kekurangan terdapat dalam rukun dan syaratnya, yang menyebabkan tidak diperbolehkannya satu halpun yang boleh dilakukan pada akad shohih, karena akad yang bathil sama dengan akad yang tidak ada(hilang). Sehingga akad bathil tidak memperbolehkan untuk  bercampur, memberi mahar, nafkah dan sebagainya. Penyebab akad bathil diantaranya adalah pernikahan lelaki dengan salah seorang muharamatnya.
3.      Akad Fasid (Rusak) : Yaitu jika akad dan syarat telah dilaksanakan, tetapi ada kekurangan satu syarat sah dalam akad tersebut, misalnya tidak adanya saksi. Dalam hal ini maka tidak diperbolehkannya melakukan yang bisa dilakukan dalam nikah shohih, dan harus dipisahkan. Tetapi jika telah terjadi dukhul, maka terdapat ketentuan sebagai berikut :
·         Harus ada mahar dan menjadi mahar mitsl. Walaupun akad dan nikahnya menjadi fasid, mahar tetap berlaku karena telah terjadi dukhul.
·         Nasab pada anak tsubut (tetap)
·         Wajib iddah bagi pihak perempuan setelah berpisah
·         Tetap diharamkannya berhubungan antara keduanya dan tidak boleh saling mewarisi
4.      Akad Mauquf (digantung) : Yaitu akad yang shohih, hanya saja tidak diperbolehkannya dukhul sebelum mendapat izin. Dalam hal ini terbagi menjadi dua keadaan :
·         Akad Mauquf sebelum dukhul : Jika telah mendapat izin dari wali maka hukumnya menjadi akad shohih, tetapi jika ditolak dan tidak diizinkan, maka hukumnya menjadi akad bathil, dan harus dipisahkan.
·         Jika telah terjadi dukhul tanpa izin diperbolehkan atau dilarang, ataupun terjadi tanpa sepengetahuan wali, kemudian ia tahu dan mengizinkan, maka akadnya menjadi shohih, tetapi jika dilarang maka harus dipisahkan walaupun telah terjadi dukhul, dan hukumnya menjadi akad fasid.

B.     MAS KAWIN (MAHAR)

            Mas kawin adalah harta yang menjadi hak istri atas suaminya dalam pernikahan.
Hukum mas kawin dalam pernikahan adalah wajib bagi laki-laki. Dasar hukum wajib mahar :
Allah SWT berfirman; “Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (An-Nisaa’: 4), dan Sabda Rosulullah SAW, “Berilah mahar walaupun berupa cincin dari besi”.
            Mas kawin atau mahar bukanlah bagian dari rukun atau syarat akad nikah, namun ia adalah suatu konsekuensi dari pernikahan. Maka akad nikah tetap sah tanpa disebutkannya mahar pada saat pelaksanaannya.

Syarat-syarat mas kawin:
·         Merupakan benda yang bisa dimiliki dan dijual-belikan secara syar'i. seperti, mas, perak dan lainnya. Dan tidak dibolehkan anjing, arak, dan benda haram lainnya.
·         Mas kawin harus jelas dan diketahui.
·         Mas kawin harus bebas dari gharar (tipuan).

Bagi syafiiyah benda yang bisa dijadikan mas kawin adalah semua benda yang bisa dijual-belikan, atau semua benda yang bisa dijadikan alat pembelanjaan, dan semua benda yang memiliki harga. Baik itu secara kontan maupun hutang, benda maupun manfaat. Seperti, menggembalakan domba, menjahitkan baju, dsb.
Apabila suami kesulitan dalam membayar mas kawin, maka menurut hanafiyah sang istri tidak boleh meminta pembatalan pernikahan dalam keadaan apapun. Tapi boleh tidak meminta izin suaminya pada hal-hal yang seharusnya memerlukan izin suami seperti, izin keluar rumah, dll. Namun menurut syafiiyah dan malikiyah, dalam keadaan seperti ini istri berhak untuk meminta membatalkan atau mengakhiri pernikahan.

C.     WAKALAH

Dalam Islam, terdapat satu prinsip yang menyatakan:“Tiap-tiap sesuatu yang seseorang berhak melaksanakan dengan sendirinya, ia boleh mewakilkan sesuatu itu kepada orang lain”. Menurut prinsip tersebut, para Fuqaha sepakat  bahwa setiap akad yang dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai bidang kuasa, maka akad itu boleh juga ia mewakilkan kepada orang lain misalnya dalam akad nikah, jualbeli, cerai, sewa menyewa, tuntutan hak dan akad yang lainnya. Salah satu dalil yang membolehkan wakalah dalam pernikahan adalah hadist yang menyatakan; “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. (HR. Malik dalam al-Muwaththa’).

Syarat wakil dari wali :
Seorang wali boleh mewakilkan hak perwalian kepada siapa saja yang ia kehendaki jika wali tersebut adalah wali mujbir dan tidak membutuhkan izin dari pihak perempuan, seperti halnya ia boleh menikahkannya tanpa izinnya. Wali tersebut juga boleh memberikan perwakilan secara mutlaq ataupun muqoyyad (terikat). Mutlaq berarti boleh mewakilkan pernikahan kepada siapapun yang dikehendakinya dan diridhoinya. Muqoyyad berarti mewakilkan kepada lelaki tertentu, dengan begitu wakil tersebut harus bersifat sebagai wali mujbir ataupun ghoiru mujbir dengan syarat : berakal, baligh, merdeka, laki-laki, muslim, tidak sedang berihram, dan tidak terpaksa.

Syarat wakil dari pengantin laki-laki :
Pengantin laki-laki boleh mewakilkan dirinya dengan siapa saja yang ia kehendaki, walaupun wakilnya tersebut adalah nasrani, budak, wanita, ataupun anak kecil yang mumayyiz. Tetapi perwakilan tersebut tidak sah jika wakilnya adalah orang yang sedang berihram, gila, idiot, ataupun anak kecil yang belum mumayyiz.

Syarat wakil pengantin perempuan :
            Perempuan boleh mewakilkan kepada siapa saja untuk pernikahannya dengan syarat seperti yang terdapat pada wali. Perwakilan tersebut juga harus dengan seizin wali dengan menyebutkan nama pengantin wanita, menyebutkan jumlah mahar dan penyerahannya.
D.    NAFKAH
Hukum Nafkah untuk Istri:

            Ulama sepakat tentang kewajiban suami untuk menafkahi istri, berdasarkan syarat-syarat yang mereka jelaskan.
Dalil kewajiban nafkah untuk istri:

Al-Qur’an:

·         “Orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah.” (ath-Thalaaq: 7).
·         “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (al-Baqarah: 233)
·         “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (ath-Thalaaq: 46).

Adapun Sunnah, adalah sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dalam khutbah beliau ketika haji Wada`,”Dan kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara baik (wajar)”. Dan terdapat hadits-hadits lain yang menjelaskan tentang kewajiban memberi nafkah kepada istri.

            Secara Ijmak, para ulama sepakat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, jika sang istri menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami dan bisa digauli serta tidak menolak kecuali jika ada uzur yang diakui syariat, seperti ketika istri sedang haid, puasa Ramadan dan sebagainya.

Sebab Kewajiban Nafkah untuk Istri

            Para ulama berbeda pendapat tentang sebab kewajiban memberi nafkah kepada istri, apakah hanya karena berlangsungnya akad nikah, ataukan karena akad dan penyerahan diri sepenuhnya sang istri kepada suami. Dalam hal ini, jumhur ulama, yaitu para ulama Mazhab Maliki, Hambali dan Syafii, istri wajib diberi nafkah jika dia menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami setelah berlangsungnya akan nikah yang sah. Sehingga apabila istri tidak mau ikut tinggal serumah dengan suami dan memilih tinggal bersama keluarganya, misalnya, maka suami tidak wajib menafkahinya.

Kadar Nafkah

            Terdapat perbedaan ulama dalam masalah kadar nafkah ini, akan tetapi pendapat yang cukup moderat adalah sesuai dengan kondisi suami dan istri tersebut serta kondisi daerahnya. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’i.

Muharramaat dalam Nikah
 
            Di dalam surat an-Nisaa’, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).

             Di dalam tiga ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan para perempuan yang haram dinikahi yang jumlahnya 14 orang. Dalam hal ini, para ulama mengklasifikasikan bahwa pengharaman terbagi menjadi dua:
1. Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku untuk selamanya).
2. Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara).

Adapun tahrim muabbad (pengharamanyang berlaku untuk selamanya), penyebabnya ada tiga, yaitu:
a. Qaraabah (hubungan kekerabatan/nasab)
b. Mushaaharah (hubungan pernikahan)
c. Ar-Radha` (susuan)

Pertama : Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan kekerabatan atau nasab:

1.                  Para perempuan yang menjadi asal keturunan, yaitu ibu, nenek (baik ibunya bapak maupun ibunya ibu), ibunya kakek dan seterusnya ke atas. Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” (an-Nisaa’: 23).
2.                  Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah. Dalil:“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
3.                  Saudara, baik kandung, seayah atau seibu, juga anak-anak mereka, atau keponakan. Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
4.                  Para bibi baik dari pihak ayah. Dalil:“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
5.                  Para bibi dari pihak ibu. Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
6.                  Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan). Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki.” (an-Nisaa’: 23).
7.                  Anak perempuan saudara perempuan (keponakan). Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23)

Kedua: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena mushaharah (hubungan pernikahan), yaitu ada empat golongan:

1.    Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas. Keharaman ini terjadi dengan sekedar berlangsungnya akad nikah dengan putrinya, walaupun belum digauli.
2.    Anak perempuan dari istri (anak tiri). Keharaman ini terjadi jika sang istri telah digauli. Dengan demikian, manakala akad nikah sudah dilangsungkan kemudian terjadi perceraian sebelum sempat digauli, maka anak perempuan mantan istrinya tersebut halal untuk dinikahi. Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;” (An-Nisaa:23).
3.    Istri anak (menantu perempuan). Dalam hal ini, menantu haram untuk dinikahi oleh mertuanya dengan sekedar berlangsungnya akad nikah antara menantunya dengan anaknya.
4.    Istri ayah (ibu tiri). Dalam hal ini, seorang ibu tiri haram dinikahi oleh seseorang dengan sekedar berlangsungnya akad nikah antara ayahnya dengan ibu tiri tersebut.

Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena susuan.
 
           Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23). Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaq `alaih).
 
            Ibu susuan menempati kedudukan seperti ibu kandung. Dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi oleh ayah susuan, sehingga seorang anak yang menyusui kepada perempuan yang bukan ibu kandungnya, haram menikah dengan:
 1.  Ibu susuan
2.      Ibu dari ibu susuan (nenek dari pihak ibu susuan)
3.      Ibu dari ayah susuan (nenek dari pihak ayah susuan)
4.      Saudara perempuan ibu susuan (bibi dari pihak ibu susuan)
5.      Saudara perempuan dari ayah susuan
6.      Cucu perempuan dari ibu susuan
7.      Saudara perempuan sepersusuan

Susuan Yang Menjadikan Haramnya Pernikahan
 
           Susuan yang mengharamkan pernikahan adalah lima kali susuan dan ketika di usia dua tahun ke bawah.
 
Perempuan-perempuan yang Haram Dinikahi untuk Sementara Waktu

·      Saudari istri. Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).
  • Bibi istri, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaq `alaih).
  • Istri orang lain dan wanita yang sedang menjalani masa iddah. ”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
  • Wanita yang dijatuhi talak tiga Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah.
  • Wanita pezina. Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah bertaubat. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).


[1] Al-Ahkam Al-Usroh fi Tasyri’ al-Islamiyah.DR.Amir Abdul Mahmud Zaglul. Kairo. Hal 41

[2] Al-Ahkam Al-Usroh fi Tasyri’ al-Islamiyah.DR.Amir Abdul Mahmud Zaglul. Hal 68




[1] Fiqh ‘ala Mazhab al-Arba’ah. Abdurrahman Al-Juzairy.Maktabah at-Taufiqiyah.Kairo,2008,hal.7
[2] Nihayah al-Muhtaj, juz 6, hal 176.
[3] Lisanul Arab, juz II, hal 626. Muhnil Muhtaj, juz III, hal 123. Fathul Mu’in, juz III, hal 255
[4] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo,2011,hal 6
[5] Diriwayatkanoleh Thabrony dalam al-Awsath, Hakim dan Baihaqi. Dan Hakim mengatakan bahwa isnadnya shohih
[6] Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Nikah, juz VII, hal 77
[7] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo,2011,hal  21
[8] Riwayat Abu Daud. Kitab Nikah. No 2050
[9] Shohih Bukhori. Kitab Jihad, no 1038
[10] Sohih Muslim. Kitab Wasiat, no 1613
[11] Shohih Musli. Kitab Rodho’, no 1367
[12] Fiqh ‘ala Mazhab al-Arba’ah. Abdurrahman Al-Juzairy.Maktabah at-Taufiqiyah.Kairo,2008,hal 12
[13] Riwayat Tirmizi. Kitab Keutamaan Jihad, no 1655. Abu Isya mengatakan hasan dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban
[14] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011,  hal 19

No comments:

Post a Comment