*Forum Kajian Fikih
Pengertian Nikah
Secara bahasa
Nikah berasal dari kata الضم(menggabungkan) dan الجمع (mengumpulkan/menghimpun)
sebagaimana dalam kalimatتناكحت
الأشجار (mengawinkan tumbuhan)
apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan
dengan lainnya[1].
Dalam perkataan Arab bermakna العقد(akad) dan الوطء (al-wath’u) yakni
bersetubuh/berhubungan intim. Apabila dikatakan nakaha bint fulan,
maksudnya melakukan akad nikah dengan wanita anak si fulan. Namun jika
dikatakan, nakaha zaujatahu, maka maksudnya al-wath’u (menyetubuhi).
Jadi kedua makna tersebut memiliki kesamaan arti tergantung kata yang
disandarkan kepadanya. Jika kata nikah disandarkan kepada wanita asing, maka
maksudnya adalah akad, tetapi jika disandarkan kepada hal yang mubah (diperbolehkan),
maka maksudnya adalah wath’u (bersetubuh). Menurut pendapat kalangan
Syafi’iyah dan perkataan Abu Hanifah lafaz akad bersifat majaz yang
mengandung arti wath’u, karena pada hakikatnya maksud dari nikah adalah
berhubungan intim[2].
Secara istilah disebutkan dalam Syarhu
al-Manhaj, bahwa nikah dalam istilah syar’i berarti suatu akad (sebuah
ikatan) yang menjadikan sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan
menggunakan lafadz nikah atau perkawinan[3].
Dalil disyari’atkannya
Nikah[4]
Dari al-Qur’an :
·
Allah SWT berfirman; “Wahai sekalian manusia
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptkanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan
dari keduanya Allah mengembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak.”.(An-Nisa : 1).
·
Dalam surat An-Nisa ayat 3 disebutkan ; “Maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua,tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.
Dari Hadist:
·
Dari Anas, Rosulullah bersabda : “Barang
siapa yang diberi rizki oleh Allah dengan wanita solihah maka Allah telah
menolong setengah agamanya, maka bertakwalah kepada Allah untuk setengah yang lain”.[5]
·
Dari Abu Hurairah, Rosulullah bersabda : “Barang
siapa yang mencintai fitrahku, maka berbuatlah dengan sunnahku, dan dari
sunnahku adalah pernikahan”[6]
Hikmah dalam Pernikahan[7]
Manusia sebagai makhluk
sosial membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan
memenuhi segala kebutuhanya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa
kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok sebagai urgensi
kelangsungan hidupnya, contohnya makan, minum dan kebutuhan
biologis. Karena itu Islam memerintahkan
untuk menikah karena pernikahan memiliki hikmah dan manfaat yang besar ;
1)
Menjalankan perintah
Allah SWT, seperti yang tertuang dalam firman-Nya: “Dan nikahkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (An-Nuur : 32)
2) Meneladani Sunnah Rasulullah SAW . Sebagaimana dikisahkan
dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah
didatangi oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan
melaksanakan shalat malam secara terus menerus, yang kedua mengatakan
bahwa dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr).
Adapun yang ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan tidak akan
menikah untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah marah dan
mengatakan bahwa barangsiapa yang membenci sunnah beliau, maka ia bukan dari
golongannya. (HR. al-Bukhari)
3) Memperbanyak jumlah Muslim di
dunia. Rosulullah bersabda,“Nikahilah
wanita yang subur dan penyayang. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya
umatku (pada hari kiamat)” (HR. Abu Daud)[8].
4) Mendapatkan generasi yang siap berjihad dijalan
Allah. Dikisahkan dalam hadits, bahwa suatu ketika Sulaiman bin Daud AS berkata,
“Sungguh pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau
dikatakan, sembilan puluh sembilan). Setiap dari mereka akan melahirkan para
penunggang kuda yang siap berjuang di jalan Allah.” Maka shahabatnya berkata
kepadanya, “Ucapkanlah insyaAllah (jika Allah menghendaki).” (Akan tetapi)
dia lupa untuk mengucapkan insyaAllah, maka tidak ada seorangpun dari isterinya
yang hamil melainkan hanya satu saja yang kemudian melahirkan separuh lelaki.
Maka Rasulullah bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di
tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman) mengucapkan insyaAllah, sungguh
(anak-anaknya) akan menjadi penunggang kuda yang siap berjihad di jalan Allah”.
(HR. Bukhari)[9].
5)
Dengan
menikah bisa memperoleh keturunan yang bisa mendo’akan setelah meninggal. Diriwayatkan dalam hadist bahwa Rosulullah bersabda, “Ketika manusia meninggal
dunia maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; sadaqoh jariah, ilmu
yang bermanfaat dan anak soleh yang berdo’a untuknya”. (HR.Muslim)[10]
6)
Menjaga kemaluan,
menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita.
Islam memandang pernikahan sebagai
benteng yang menjaga manusia dari kerusakan. Rasulullah
SAW bersabda:“Wahai para
pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah
itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi
dirinya”.(HR.
Muslim).
7) Meredam syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu yang halal untuk mendapatkan pahala dan ridho Allah.
Diriwayatkan ketika para sahabat bertanya
kepada Rosulullah, “Wahai Rasulullah
mengapa seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau
bersabda, “Tidakkah kalian ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang
haram, maka ia akan mendapatkan dosa? Begitupun jika ia menyalurkanya pada yang
sesuatu yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala”.
(HR. Muslim)
8) Mencegah tersebarnya perzinaan dan penyakit menular di kalangan umat
Islam. Rasulullah SAW pernah
bersabda,“Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian,
maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah,
semoga kalian terhindar darinya. Lima perkara itu ialah; Tidak merajalela
praktek perzinaan pada suatu kaum sampai mereka berani berterus-terang
melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan
mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang
lalu…”. (HR. Ibnu Majah).
9) Menikah mendatangkan kekayaan, menghilangkan
kemiskinan dan dimudahkannya keinginan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim, bahwa Abu Bakar As-Siddiq berkata, “Taatlah
kepada Allah atas perintahNya untuk melaksanakan nikah, memudahkan kalian
kepada kekayaan yang kalian inginkan. Dan Allah SWT berfirman: “Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nuur: 32)”
10) Dalam pernikahan terdapat sebaik-baiknya perhiasan dunia. Sebaik-baiknya
perhiasan dunia adalah wanita solehah. Dari Abdullah Ibnu Umar, Rosulullah
bersabda; “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solehah.”
(HR. Muslim).[11] Rasulullah SAW juga
pernah bersabda kepada Umar Bin Khattab r.a:
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan
seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya,
bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi maka ia (wanita itu) akan
menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud )
Hukum Nikah
Nikah terbagi dalam beberapa hukum :
1.
Mubah : Asal hukum dari nikah adalah ibahah,
maka mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi
hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi
diri dari yang haram[12].
2. Mustahab/ sunnah : Bagi
orang yang memiliki keinginan kepada wanita tetapi tidak khawatir berzina atau
terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, dan ia mampu secara materi
untuk mahar dan nafkah. Begitu pula dengan
wanita yang ingin menikah karena
khawatir dengan gangguan dan butuh nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya.
3.
Wajib : Nikah menjadi wajib
bagi orang yang mampu dan khawatir zina atau maksiat jika
tidak menikah. Sebab menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak
dapat dihindari kecuali dengan nikah maka hukumnya menjadi wajib. Karena itu wajib bagi keluarga dekat dan wali dari
yatim untuk menikahkan orang yang berada dalam tanggungan mereka yang
membutuhkan pernikahan. Dalam hadist dari Abu Hurairah, Rosulullah bersabda : “Tiga orang yang Allah berhak menolong mereka; Pejuang di jalan Allah, budak
yang ingin menebus dirinya, dan orang yang menikah
untuk menjaga kehormatan” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim)[13]
4.
Fardhu Kifayah : Bagi umat untuk menjaga kelangsungan keturunan.
5.
Makruh : Bagi orang yang tidak memiliki kesiapan,
berdasarkan ayat al-Qur’an; “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya” (An-Nuur :33). Dan menjadi makruh pula
bagi orang yang tidak membutuhkan menikah. Tetapi jika ia tidak menginginkan
nikah, siap secara materi, dan tidak memiliki hambatan meninggalkan nikah
seperti adanya penyakit atau tua, maka lebih baik untuknya melaksanakan
pernikahan karena lebih menjaga dari perbuatan tercela.
Lalu bagaimana hukum
menikah bagi orang yang siap, tidak memiliki halangan penyakit atau lainnya,
tetapi ia tidak menginginkan pernikahan
dengan alasan ibadah?
Dalam masalah ini Imam
Syafi’i berpendapat bahwa perbuatan tersebut tidak makruh dan tercela. Contoh
dari ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam kesibukan mencari ilmu, sehingga
meninggalkan pernikahan lebih baik baginya jika menjadi penghalang dalam
ibadahnya dan pada kondisi tidak membutuhkan perempuan padahal ia mampu. Karena
pernikahan termasuk jenis mu’amalat yang boleh dilakukan oleh muslim maupun
kafir dengan maksud menjaga syahwat dan kepentingan pribadi. Sedangkan dalam
kesibukan beribadah maka perbuatannya hanya untuk Allah SWT berdasarkan firman
Allah; “ Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”
(Az-Zariyaat : 56). Berdasarkan ini, maka ibadah lebih baik baginya dari
pernikahan, kecuali jika orang tersebut membutuhkan perempuan, maka maksud
nikah menjadi pensucian agama dan diri dari zina.
Imam Hanafi berpendapat bahwa menikah lebih
baik dari pada mementingkan ibadah yang berhukum sunnah, karena dalam syari’at
Islam berkeluarga lebih baik dari pada ber’uzlah untuk ibadah[14].
A. Akad Nikah :
Rukun akad nikah:
Rukun nikah
menurut hanafiyah hanya satu yaitu shigoh (ijab dan Kabul). Sedangkan rukun nikah
menurut jumhur adalah : shigoh (ijab, Kabul), istri, suami, dan wali.
Shigoh (ijab dan Kabul)
Ijab atau
penawaran adalah kalimat yang lebih dulu disandarkan oleh salah satu pihak,
yang menunjukan adanya keinginan untuk melaksanakan akad nikah.
Sedangkan Kabul adalah kalimat yang disandarkan
oleh pihak kedua yang menunjukan adanya kesepakatan atau penerimaan atas
tawaran pihak pertama.
Lafaz shigoh
Lafaz shigoh
akad nikah yang disepakati dan diakui keabsahannya adalah dua lafaz yang
terdapat dalam alquran, yaitu : lafaz zawaj (﴿ زوجناكم﴾ (زواج dan nikah (نكاح) و لا تنكحوا ما نكح آباؤكم﴾ ﴿.
Syarat-Syarat pada Akad
:
Terdapat 4 syarat dalam akad nikah:
1.
Syarat terjadinya akad ( (شروط الانعقاد
2.
Syarat sahnya akad (شروط الصحة)
3.
Syarat berlangsungnya akad ( (شروط النفاذ
4.
Syarat terikatnya akad ((شروط اللزوم
1.
Syarat
terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah syarat
yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad, yang apabila tidak terpenuhi, maka
akad dianggap batal.
·
syarat yang harus dipenuhi oleh
suami dan wali ('aqidani)
v Tamyiz
: bisa
membedakan mana yang baik dan yang buruk.
v Dapat saling
memahami maksud satu sama lain dalam pelaksanaan akad agar kedua pihak saling
meridhoi satu sama lain. Dalam madzhab hanafiyah ridho untuk melaksanakan akad
bukanlah syarat terjadinya akad, maka menurut mereka akad tetap terlaksana
walaupun salah satu pihak terpaksa melaksanaknnya.
·
Syarat yang harus dipenuhi oleh
istri
v
Istri adalah seorang perempuan.
v
Istri bukanlah mahrom bagi suaminya.
·
Syarat yang harus dipenuhi dalam ijab-kabul
(shigoh)
v Ijab-kabul
dilakukan pada waktu dan tempat yang sama.
Maka, apabila ijab telah ducapkan
oleh pihak pertama, pihak kedua harus segera mengucapkan kabulnya tanpa jeda
waktu yang lama.
Apabila salah satu pihak tidak bisa
hadir dalam akad nikah, dan mengirimkan surat untuk melakukan akad nikah. Maka,
menurut hanafiyah majlis akad pada akad seperti ini adalah tempat dibacakannya
surat dihadapan para saksi.
v Sesuainya Kabul
dengan ijab
v Ijab tidak
dibatalkan sampai saat kabul
v Ijab-kabul
mutlak, tidak terikat.
Pandangan 4 madzhab akan syarat pada
akad:
Para ulama
sepakat bahwa syarat yang baik dan sesuai dengan akad dan syariat adalah sah,
dan syarat yang tidak seusai dengan akad dan syariat tidaklah sah.
Bagaimana
hukumnya pernikahan yang bersyarat fasid?
Menurut
hanafiyah, apabila suatu pernikahan terlaksana dengan syarat yang fasid (tidak
baik) maka, hukum pernikahan tetap sah selama terpenuhi rukun dan
syarat-syaratnya, hanya syarat fasid tersebut saja yang batal. Hanabilah
memiliki pandangan yang sama akan hal ini dengan hanafiyah, hanya saja mereka
berbeda apabila syarat fasid tersebut adalah penjangkaan pernikahan. Hanabilah
berpendapat bahwa pernikahan dengan syarat seperti ini adalah membatalkan akad
nikah.
Syafiiyah
berpendapat bahwa syarat yang membatalkan akad nikah adalah syarat yang
bertentangan dengan tujuan-tujuan dasar pernikahan. Maka, apabila syarat fasid
tersebut tidak bertentangan, tidak merusak akad nikah dan hanya syaratnya saja
yang batal.
Sedangkan
malikiyah berpendapat bahwa semua pernikahan yang terjadi dengan syarat yang
fasid haruslah dibatalkan, apabila belum terjadi hubungan suami istri. namun,
apabila hubungan suami istri telah terjadi maka pernikahan dilanjutkan, tapi
syarat dibatalkan.
1.
Syarat sahnya
akad
a)
Perempuan yang dinikahi bukanlah
mahram suami.
Apabila seseorang menikahi
mahromnya, maka akad tersebut dianggap fasid. Maka kedua suami istri harus
dipisahkan secara paksa apabila tidak berpisah dengan sendirinya. Apabila telah
terjadi hubungan suami istri pada pernikahan seperti ini, maka untuk sang istri
mahal yang terkecil diantara mahal mitsli dan mahar musamma. Istri wajib
menjalani masa 'iddah. Dan apabila memiliki anak, nasab keturunan tetap
mengikuti ayah.
b)
Ijab-kabul tidak terikat oleh waktu.
Para ulama sepakat akan batalnya
ijab-kabul yang terikat oleh waktu tertentu.
ü Hukum nikah
mut'ah (kawin kontrak).
Kawin kontrak
adalah pernikahan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu. Hukum pernikahan
seperti ini adalah haram. Kawin kontrak yang diharamkan adalah pernikahan yang
jangka waktunya disebutkan dalam ijab-kabul. Maka, apabila jangka waktu tidak
disebutkan dalam ijab-kabul, namun jangka waktu telah disepakati, maka
pernikahan tersebut adalah makruh. Karena tujuan pernikahan itu hanya untuk
kenikmatan duniawi.
·
Dalil pengharaman kawin kontrak:
Allah SWT berfirman; “Dan
orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” (An-Nuur :33).
Berkata Sabrah Ibnu Mu’bad, “Sesungguhnya
Rusulullah SAW ketika haji Wada’ melarang nikah mut’ah” (HR.Ahmad dan Abu
Daud)
ü
Hukum pernikahan tahlil
Pernikahan ini
adalah pernikahan yang dilakukan agar suami pertama bisa menikahi mantan
istrinya yang sudah ditalak 3.
Hukum
pernikahan seperti ini adalah haram, dan apabila terjadi maka pernikahan
dianggap batal. Terdapat 3 jenis pernikahan tahlil
c)
Saksi.
·
Para ulama sepakat bahwa saksi
adalah syarat sahnya akad nikah. Seperti sabda Rasulullah Saw, “Tidak (sah)
pernikahan tanpa adanya wali dan saksi yang adil”. Guna menegaskan hal ini,
ulama malikiyah mengatakan bahwa penikahan sirri (yaitu pernikahan yang
disembunyikan keberadaannya) tidak sah, dan harus dihapus. Sedangkan hanabilah
berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak harus dihapus, hanya saja hukumnya
makruh.
·
Waktu kesaksian.
Jumhur ulama selain malikiyah
berpendapat bahwa waktu kesaksian adalah harus ketika pelaksanaan akad nikah,
sehingga saksi menyaksikan terjadinya ijab-kabul antara dua belah pihak.
Sedangkan malikiyah berpendapat
bahwa waktu kesaksian adalah, antara pelaksanaan akad nikah sampai terjadinya
hubungan suami istri. Dan kesaksian pada waktu pelaksanaan akad bukanlah suatu
keharusan, melainkan sesuatu yang dianjurkan.
·
Hikmah adanya saksi.
Hikmah adanya saksi adalah menjadi
bukti akan adanya pernikahan yang sah antara kedua mempelai. Dan guna
menyebarkan kabar akan pernikahan tersebut. Oleh sebab itu disunnahkan pada
pernikahan untuk menyebarkannya dan mengadakan pesta atau walimah.
·
Syarat saksi.
v Berakal.
v Baligh
v Lebih dari Satu
(dua)
v Laki-laki
Hanya hanafiyah yang membolehkan
wanita menjadi saksi dalam pernikahan. 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan
adalah saksi yang sah menurut hanafiyah.
v Merdeka
v Adil (memiliki
nama baik)
v Islam
v Dapat melihat.
Hal ini adalah syarat saksi bagi
syafiiyah. Sedangkan bagi madzhab lain, seorang buta adalah saksi yang sah
apabila ia dapat mendengar dan menyimak dengan baik suara piha-pihak yang
berakad, juga bisa membedakan suara asli dan tipuan.
v Dapat mendengar
dan memahami ucapan pihak-pihak yang berakad.
d)
Adanya ridho tanpa keterpaksaan
dalam akad nikah.
Maka, apabila pernikahan terjadi
karena keterpaksaan atau ancaman pernikahan tersebut adalah pernikahan yang
fasid. Namun ini adalah syarat bagi jumhur ulama kecuali hanafiyah.
e)
Menyebutkan nama kedua mempelai.
Hal ini adalah syarat bagi syafiiyah
dan hanabilah.
f)
Para pihak yang terkait dalam akad
tidak sedang berihram (wali, suami, istri).
g)
Adanya mas kawin (mahar).
Mahar atau mas kawin adalah syarat
sahnya pernikahan bagi malikiyah. Namun mas kawin tidak harus disebutkan ketika
akad nikah, hanya dianjurkan. Maka, menurut malikiyah pernikahan yang
disyaratkan tanpa mahar adalah fasid.
Namun menurut jumhur ulama, mas
kawin bukanlah bagian dari rukun ataupun syarat sahnya akad nikah, melainkan
konsekuensi dari pernikahan. Maka,mas kawin haruslah dipenuhi walaupun kedua
pihak telah sepakat akan peniadaan mas kawin.
h)
Kehadiran wali.
adalah syarat bagi selain hanafiyah.
Maka, seorang wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa wali menurut
jumhur ulama selain hanafiyah.
2.
Syarat
berlangsungnya pernikahan
Hanafiyah
mensyaratkan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad nikah, setelah
terjadinya akad:
a)
Para mempelai harus memenuhi syarat
apabila mereka menikahkan diri mereka sendiri.
b)
Wali yang menikahkan haruslah wali
yang terdekat hubungan kekerabatannya dengan mempelai wanita.
c)
Seorang wakil harus melakukan sesuai
keinginan pihak yang ia wakilkan
d)
Pihak yang berakad haruslah pihak
yang memiliki kepentingan
3.
Syarat
terikatnya akad
Apabila syarat
ini terpenuhi, maka masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad tanpa
persetujuan pihak yang lain. Syarat-syaratnya adalah:
·
Wali yang menikahkan seorang yang
masih kecil, bodoh, dsb. Haruslah ayah atau kakeknya.
·
Suami haruslah satu kufu (derajat)
dengan istrinya. Suami harus terbebas dari aib atau penyakit
Akad yang bebas dan yang
terikat[1]
1.
Akad yang bebas, atau akad yang biasa terjadi dalam majlis akad. Tidak disandarkan pada
waktu tertentu dan tidak terikat dengan syarat tertentu.
2.
Akad yang dikaitkan
dengan syarat. Yaitu mengikat satu
perkataan dengan perkataan lain. Misalnya seorang berkata, “Kalau kamu lulus
ujian, akan kunikahkan kau dengan anak perempuanku”, akad tetap dianggap tidak
terjadi walaupun orang tersebut lulus ujian. Tetapi jika ia berkata, “Aku akan
menikahkan kau dengan anakku jika kau seorang dokter”. Ternyata lelaki tersebut
adalah dokter dan menjawab dengan qobul, maka akad dianggap sah. Begitu pula
jika seorang perempuan berkata, “Aku akan menikah denganmu jika ayahku ridho”,
kemudian ayahnya berada ditempat itu dan ridho, lelaki tersebut menjawab qobul,
maka akad menjadi sah.
3.
Akad yang disandarkan
pada waktu yang akan datang. Misalnya seorang
lelaki mengatakan kepada perempuan, “Aku akan menikahimu bulan depan”, dan
perempuan menjawab, “Aku menerima”, hal tersebut tidak disebut akad karena
terikat pada waktu yang akan datang.
4.
Akad dengan syarat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dengan melihat dampaknya
pada pernikahan. Madzhab As-Syafii membagi
persyaratan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat
yang dilarang.
·
Adapun
syarat yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan hukum syar’i tentang
mutlaknya akad, contohnya lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk
berpergian bersamanya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena boleh
dilakukan meskipun tanpa syarat.
·
Adapun
persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam: a-Persyaratan
yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud
pernikahan. b- Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak
membatalkan pernikahan. c- Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa
yang memberi persayaratan. d- Persyaratan yang diperselisihkan oleh
ulama madzhab As-Syafi’i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan
nafaqoh.
Jenis- Jenis Akad Nikah[2] :
1. Akad Shohih (Sah) : Yaitu apabila telah sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya,
sehingga menjadi sah nikahnya dengan rukun dan syarat sah pernikahan tersebut.
Akad yang shohih dan pernikahan yang shohih ini mengharuskan terjadinya hal-hal
yang telah dijelaskan syari’at tentang hak-hak dan kewajiban dalam pernikahan,
seperti halal bersetubuh, mahar, nafkah, dan lain sebagainya.
2. Akad Bathil : Jika kekurangan
terdapat dalam rukun dan syaratnya, yang menyebabkan tidak diperbolehkannya
satu halpun yang boleh dilakukan pada akad shohih, karena akad yang bathil sama
dengan akad yang tidak ada(hilang). Sehingga akad bathil tidak memperbolehkan
untuk bercampur, memberi mahar, nafkah
dan sebagainya. Penyebab akad bathil diantaranya adalah pernikahan lelaki
dengan salah seorang muharamatnya.
3. Akad Fasid (Rusak) : Yaitu jika akad dan syarat telah dilaksanakan, tetapi ada kekurangan
satu syarat sah dalam akad tersebut, misalnya tidak adanya saksi. Dalam hal ini
maka tidak diperbolehkannya melakukan yang bisa dilakukan dalam nikah shohih,
dan harus dipisahkan. Tetapi jika telah terjadi dukhul, maka terdapat
ketentuan sebagai berikut :
·
Harus ada mahar dan
menjadi mahar mitsl. Walaupun akad dan nikahnya menjadi fasid,
mahar tetap berlaku karena telah terjadi dukhul.
·
Nasab pada anak tsubut
(tetap)
·
Wajib iddah bagi pihak
perempuan setelah berpisah
·
Tetap diharamkannya
berhubungan antara keduanya dan tidak boleh saling mewarisi
4. Akad Mauquf (digantung) : Yaitu akad yang shohih, hanya saja tidak diperbolehkannya dukhul
sebelum mendapat izin. Dalam hal ini terbagi menjadi dua keadaan :
·
Akad Mauquf
sebelum dukhul : Jika telah mendapat izin dari wali maka hukumnya
menjadi akad shohih, tetapi jika ditolak dan tidak diizinkan, maka hukumnya
menjadi akad bathil, dan harus dipisahkan.
·
Jika telah terjadi dukhul
tanpa izin diperbolehkan atau dilarang, ataupun terjadi tanpa sepengetahuan
wali, kemudian ia tahu dan mengizinkan, maka akadnya menjadi shohih,
tetapi jika dilarang maka harus dipisahkan walaupun telah terjadi dukhul,
dan hukumnya menjadi akad fasid.
B.
MAS KAWIN
(MAHAR)
Mas
kawin adalah harta yang menjadi hak istri atas suaminya dalam pernikahan.
Hukum mas kawin
dalam pernikahan adalah wajib bagi laki-laki. Dasar hukum wajib mahar :
Allah SWT
berfirman; “Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan” (An-Nisaa’: 4), dan Sabda Rosulullah SAW,
“Berilah mahar walaupun berupa cincin dari besi”.
Mas kawin atau mahar bukanlah bagian
dari rukun atau syarat akad nikah, namun ia adalah suatu konsekuensi dari
pernikahan. Maka akad nikah tetap sah tanpa disebutkannya mahar pada saat
pelaksanaannya.
Syarat-syarat
mas kawin:
·
Merupakan benda yang bisa dimiliki
dan dijual-belikan secara syar'i. seperti, mas, perak dan lainnya. Dan tidak
dibolehkan anjing, arak, dan benda haram lainnya.
·
Mas kawin harus jelas dan diketahui.
·
Mas kawin harus bebas dari gharar
(tipuan).
Bagi syafiiyah benda yang bisa dijadikan mas
kawin adalah semua benda yang bisa dijual-belikan, atau semua benda yang bisa
dijadikan alat pembelanjaan, dan semua benda yang memiliki harga. Baik itu
secara kontan maupun hutang, benda maupun manfaat. Seperti, menggembalakan
domba, menjahitkan baju, dsb.
Apabila suami kesulitan dalam membayar mas
kawin, maka menurut hanafiyah sang istri tidak boleh meminta pembatalan
pernikahan dalam keadaan apapun. Tapi boleh tidak meminta izin suaminya pada
hal-hal yang seharusnya memerlukan izin suami seperti, izin keluar rumah, dll. Namun
menurut syafiiyah dan malikiyah, dalam keadaan seperti ini istri berhak untuk
meminta membatalkan atau mengakhiri pernikahan.
C. WAKALAH
Dalam Islam, terdapat satu prinsip yang
menyatakan:“Tiap-tiap sesuatu yang seseorang
berhak melaksanakan dengan sendirinya, ia boleh mewakilkan sesuatu itu kepada orang lain”. Menurut prinsip
tersebut, para Fuqaha sepakat bahwa setiap
akad yang dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai bidang kuasa, maka akad
itu boleh juga ia mewakilkan kepada orang lain misalnya dalam akad nikah,
jualbeli, cerai, sewa menyewa, tuntutan hak dan akad yang lainnya. Salah satu dalil
yang membolehkan wakalah dalam pernikahan adalah hadist yang menyatakan; “Bahwasanya Rasulullah
mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini
Maimunah binti Al Harits”. (HR. Malik dalam al-Muwaththa’).
Syarat wakil dari wali
:
Seorang wali boleh mewakilkan hak perwalian kepada siapa saja yang ia
kehendaki jika wali tersebut adalah wali mujbir dan tidak membutuhkan izin dari
pihak perempuan, seperti halnya ia boleh menikahkannya tanpa izinnya. Wali
tersebut juga boleh memberikan perwakilan secara mutlaq ataupun muqoyyad (terikat).
Mutlaq berarti boleh mewakilkan pernikahan kepada siapapun yang dikehendakinya
dan diridhoinya. Muqoyyad berarti mewakilkan kepada lelaki tertentu, dengan
begitu wakil tersebut harus bersifat sebagai wali mujbir ataupun ghoiru mujbir
dengan syarat : berakal, baligh, merdeka, laki-laki, muslim, tidak sedang
berihram, dan tidak terpaksa.
Syarat wakil dari
pengantin laki-laki :
Pengantin laki-laki boleh mewakilkan dirinya dengan siapa saja yang ia
kehendaki, walaupun wakilnya tersebut adalah nasrani, budak, wanita, ataupun
anak kecil yang mumayyiz. Tetapi perwakilan tersebut tidak sah jika
wakilnya adalah orang yang sedang berihram, gila, idiot, ataupun anak kecil
yang belum mumayyiz.
Syarat wakil pengantin
perempuan :
Perempuan boleh
mewakilkan kepada siapa saja untuk pernikahannya dengan syarat seperti yang
terdapat pada wali. Perwakilan tersebut juga harus dengan seizin wali dengan
menyebutkan nama pengantin wanita, menyebutkan jumlah mahar dan penyerahannya.
D. NAFKAH
Hukum Nafkah untuk Istri:
Ulama sepakat tentang kewajiban suami untuk menafkahi istri, berdasarkan syarat-syarat yang mereka jelaskan.
Dalil kewajiban nafkah
untuk istri:
Al-Qur’an:
·
“Orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah.” (ath-Thalaaq: 7).
·
“Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (al-Baqarah: 233)
·
“Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (ath-Thalaaq: 46).
Adapun Sunnah, adalah
sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dalam khutbah beliau ketika haji
Wada`,”Dan kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara baik
(wajar)”. Dan terdapat hadits-hadits lain yang menjelaskan tentang
kewajiban memberi nafkah kepada istri.
Secara Ijmak, para ulama sepakat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, jika sang istri menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami dan bisa digauli serta tidak menolak kecuali jika ada uzur yang diakui syariat, seperti ketika istri sedang haid, puasa Ramadan dan sebagainya.
Sebab Kewajiban Nafkah untuk Istri
Para ulama berbeda pendapat tentang
sebab kewajiban memberi nafkah kepada istri, apakah hanya karena berlangsungnya
akad nikah, ataukan karena akad dan penyerahan diri sepenuhnya sang istri
kepada suami. Dalam hal ini, jumhur ulama, yaitu para ulama Mazhab Maliki,
Hambali dan Syafii, istri wajib diberi nafkah jika dia menyerahkan diri
sepenuhnya kepada suami setelah berlangsungnya akan nikah yang sah. Sehingga
apabila istri tidak mau ikut tinggal serumah dengan suami dan memilih tinggal
bersama keluarganya, misalnya, maka suami tidak wajib menafkahinya.
Kadar Nafkah
Terdapat perbedaan ulama dalam masalah kadar nafkah ini, akan tetapi pendapat yang cukup moderat adalah sesuai dengan kondisi suami dan istri tersebut serta kondisi daerahnya. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’i.
Muharramaat dalam Nikah
Di dalam surat an-Nisaa’, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).
Di dalam tiga ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan para perempuan yang haram dinikahi yang jumlahnya 14 orang. Dalam hal ini, para ulama mengklasifikasikan bahwa pengharaman terbagi menjadi dua:
1. Tahrim Muabbad
(pengharaman yang berlaku untuk selamanya).
2. Tahrim Muaqqat
(pengharaman yang bersifat sementara).
Adapun tahrim muabbad (pengharamanyang berlaku untuk selamanya), penyebabnya ada tiga, yaitu:
a. Qaraabah (hubungan kekerabatan/nasab)
b. Mushaaharah
(hubungan pernikahan)
c. Ar-Radha`
(susuan)
Pertama : Perempuan
yang haram dinikahi karena hubungan kekerabatan atau nasab:
1.
Para perempuan yang
menjadi asal keturunan, yaitu ibu, nenek (baik ibunya bapak maupun ibunya ibu),
ibunya kakek dan seterusnya ke atas. Dalil: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” (an-Nisaa’: 23).
2.
Anak perempuan, cucu
perempuan dan seterusnya ke bawah. Dalil:“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan.” (an-Nisaa’:
23).
3.
Saudara, baik kandung,
seayah atau seibu, juga anak-anak mereka, atau keponakan. Dalil: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
4.
Para bibi baik dari
pihak ayah. Dalil:“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan. Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
5.
Para bibi dari pihak
ibu. Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan. Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23).
6.
Anak perempuan saudara
laki-laki (keponakan). Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudara yang laki-laki.” (an-Nisaa’: 23).
7.
Anak perempuan saudara
perempuan (keponakan). Dalil: “Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu;
anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan.” (an-Nisaa’: 23)
Kedua: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena mushaharah (hubungan pernikahan), yaitu ada empat golongan:
1. Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas. Keharaman ini terjadi
dengan sekedar berlangsungnya akad nikah dengan putrinya, walaupun belum
digauli.
2. Anak perempuan dari istri (anak tiri). Keharaman ini terjadi
jika sang istri telah digauli. Dengan demikian, manakala akad nikah sudah
dilangsungkan kemudian terjadi perceraian sebelum sempat digauli, maka anak
perempuan mantan istrinya tersebut halal untuk dinikahi. Hal ini didasarkan
pada firman Allah, “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri
kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;”
(An-Nisaa:23).
3. Istri anak (menantu perempuan). Dalam hal ini, menantu
haram untuk dinikahi oleh mertuanya dengan sekedar berlangsungnya akad nikah
antara menantunya dengan anaknya.
4. Istri ayah (ibu tiri). Dalam hal ini, seorang
ibu tiri haram dinikahi oleh seseorang dengan sekedar berlangsungnya akad nikah
antara ayahnya dengan ibu tiri tersebut.
Ketiga:
perempuan-perempuan yang haram dikawini karena susuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23). Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaq `alaih).
Ibu susuan menempati kedudukan seperti ibu kandung. Dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi oleh ayah susuan, sehingga seorang anak yang menyusui kepada perempuan yang bukan ibu kandungnya, haram menikah dengan:
1. Ibu susuan
2. Ibu dari ibu susuan (nenek dari pihak ibu susuan)
3. Ibu dari ayah susuan (nenek dari pihak ayah susuan)
4. Saudara perempuan ibu susuan (bibi dari pihak ibu susuan)
5. Saudara perempuan dari ayah susuan
6. Cucu perempuan dari ibu susuan
7. Saudara perempuan sepersusuan
Susuan Yang Menjadikan Haramnya Pernikahan
Susuan yang mengharamkan pernikahan adalah lima kali susuan dan ketika di usia dua tahun ke bawah.
Perempuan-perempuan yang Haram Dinikahi untuk Sementara Waktu
·
Saudari istri. Allah SWT berfirman, ”Dan
menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).
- Bibi istri, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaq `alaih).
- Istri orang lain dan wanita yang sedang menjalani masa iddah. ”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
- Wanita yang dijatuhi talak tiga Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah.
- Wanita pezina. Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah bertaubat. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).
[1] Fiqh ‘ala Mazhab al-Arba’ah.
Abdurrahman Al-Juzairy.Maktabah at-Taufiqiyah.Kairo,2008,hal.7
[2] Nihayah al-Muhtaj, juz 6,
hal 176.
[3] Lisanul Arab, juz II, hal
626. Muhnil Muhtaj, juz III, hal 123. Fathul Mu’in, juz III, hal
255
[4] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh
Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo,2011,hal 6
[5] Diriwayatkanoleh Thabrony dalam
al-Awsath, Hakim dan Baihaqi. Dan Hakim mengatakan bahwa isnadnya shohih
[6]
Diriwayatkan oleh Baihaqi
dalam kitab Nikah, juz VII, hal 77
[7] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh
Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo,2011,hal 21
[8] Riwayat Abu Daud. Kitab Nikah.
No 2050
[9] Shohih Bukhori. Kitab Jihad, no
1038
[10] Sohih Muslim. Kitab Wasiat, no
1613
[11]
Shohih Musli. Kitab Rodho’,
no 1367
[12] Fiqh ‘ala Mazhab al-Arba’ah.
Abdurrahman Al-Juzairy.Maktabah at-Taufiqiyah.Kairo,2008,hal 12
[13]
Riwayat Tirmizi. Kitab
Keutamaan Jihad, no 1655. Abu Isya mengatakan hasan dan dishahihkan oleh Ibnu
Hibban
[14] Al-anwarul Bahiyah fi Fiqh
Ahwalul Syakhshiah.DR.Ruhiyah Mustafa.Kairo, 2011, hal 19
No comments:
Post a Comment