Entah bagaimana lagi aku harus mengutuk malam. Setiap matahari senja
yang kuintip di jendela selalu tenggelam
dibalik wohnung itu ketika malam datang, hanya gelap yang ia sisakan. Aku benci
menggerutu, bosan mendengar suaraku sendiri yang hanya berisi sumpah serapah. Sebenarnya
bukan gelap yang membuatku memisuh, karena gelap bisa menjadi penolongku ketika
ia datang. Tetapi malam lah yang patut diumpat, ia menjanjikan ketenangan
absurd. Husshh..aku harus diam, bahkan berbicara dalam hatipun tak boleh
dilakukan. Dia bisa mendengarku kapan saja.
Klik..
Apa aku bilang, dia mendengar ucapanku! Itu adalah suara pintu yang ia
tutup. Dia selalu menutup pintu dengan bunyi klik, dia tak boleh tahu bahwa aku
hafal dengan kebiasaannya itu. Bisa bahaya. Kurapatkan selimut yang menutupi tubuh kecilku dan
memeluk kakiku sendiri. Walaupun meringkuk dibawah meja belajar ini adalah
tempat bersembunyi paling aman, aku
tetap harus hati-hati. Aku bukan bocah bodoh lagi yang menyembulkan kepalanya
tiba-tiba untuk mengintip, seperti yang kulakukan kemarin saat bersembunyi di bawah tangga.
Oh tidak, aku tidak boleh ingat kejadian itu! Pisau itu mengerikan! Ada
darah menetes-netes di ujungnya. Merah dimana-mana..dan dia melangkahkan
kakinya pelan-pelan sambil terus mencariku. Dasar bodoh! Kenapa kemarin aku
menyembulkan kepala dan membuat suara berisik?? Kemarin dia menoleh ke arah
tangga dan membuatku menggigil sampai terkencing saat melihat mata merah
mengerikan miliknya dibalik tudung hitamnya itu. Mata yang siap membunuhku
kapan saja. Bodoh! Aku tidak boleh membuatnya menoleh lagi dan melihat mata
itu. Apapun yang ku lakukan Jeane tidak boleh menemukanku! Dasar bodoh !
mengapa aku harus menyebut namanya? Ia bisa mendengar! Bodoh..! Bodoooh..!!
Srekk..
Aku terkesiap dan menghentikan gerakan tanganku yang memukuli kepala
tanpa sadar. Keringat dinginku menetes, perutku mulas. Selimut yang menutupi
seluruh tubuhku terasa makin panas, aku bisa mrasakan keringat mengalir
dipunggungku. Apa yang harus ku lakukan? Aku telah berbuat bodoh lagi dengan
memukuli kepala karena merasa bodoh. Jeane pasti mendengar dan melihat
gerakanku itu. Oh tidak..aku menyebut namanya lagi!
Sekarang aku mendengar suara langkah kaki. Itu kakinya! Aku yakin itu
langkah kaki miliknya yang semakin mendekat! Apa yang harus aku lakukan??
Keringatku makin banyak, perutku makin mulas dan aku merasa ingin kencing lagi.
Bayangan pisau bersimbah darah itu makin jelas! Apa yang harus aku lakukan??! Aku
tidak mau mati!!
Cit
cit cuitt..cit cit..cuitt..
Syukurlah burung putih dengan bulu-bulu lembut itu datang lagi. Dia
pasti jelmaan malaikat karena telah menolongku dua kali. Jeane telah pergi, aku
mendengar dia keluar dengan tergesa-gesa. Aku lelah, aku ingin tidur...
“Halo?
Adelle? Sudah kubilang jangan menelponku saat sedang bekerja! Ya..ya..dia
memang sudah tidur, tapi kamu tahu sendiri suara sekecil apapun bisa
mengganggunya. Oke..Oke aku ke bawah sekarang, biar aku sendiri yang menghadapi
mereka”. Telepon dimatikan.
“Dasar
orang dari Mentri Kesehatan
sialan, sudah kubilang aku akan datang besok siang, tetap saja mereka yang
datang kerumahku malam ini”. Bertha menggerutu kemudian meminum secangir besar
air mineral didepannya. Ia bangun dari sofa tempatnya duduk sambil menoleh
kebawah meja belajar besar yang berada di sebelah kanan sofa. Sudah tidak ada
gerakan lagi.
Bertha
mendekat pelan-pelan, bukan karena tubuhnya gemuk dan usianya memasuki 50 tahun
gerakannya menjadi lambat, tetapi karena ia harus bergerak hati-hati. Didepan
meja belajar besar itu ia membungkukkan badan dan dengan sangat pelan
menyingkap selimut yang menutupi wajah Jhon. Wajah didepannya itu tertidur
pulas, tenang tanpa beban. Tetapi Bertha bisa melihat buliran keringat di dahinya, baju tidur bergambar
beruang yang dipakai Jhon basah. Oh tidak, ternyata ada genangan lain di bawah.
Bertha
menghela nafas, “Anak yang malang..”ujarnya iba. Ia membiarkan wajah Jhon tidak
ditutupi selimut supaya bisa bernafas,
setelah itu berjalan keluar ruangan dengan hati-hati. Berusaha tidak
mengeluarkan suara sedikitpun dan meninggalkan Jhon dibawah meja itu, masih
tidur meringkuk di atas
genangan air seninya sendiri.
***
“Guten
Morgen, Frau Bertha.”
“Guten Morgen, Jhon.”
Mendengar
sapaan itu, Adelle langsung mendekat ke arah blind jendela dan
menyingkapnya sedikit. Ia bisa melihat Jhon dan bibinya yang sedang menyiram
bunga saling bertukar sapa di halaman depan. Jhon terlihat rapi, ia berdiri
disamping sepedanya sambil menyandang tas di pundak. Wajah lelaki itu cerah, ia
terlihat beberapa kali tertawa lebar sambil berbincang dengan bibi Bertha. Gigi
Jhon yang rapi terlihat saat ia tertawa, matanya sedikit menyipit dan suaranya
renyah. Adelle menyukai tawa itu sejak pertama kali bibi Bertha menyuruhnya
berdiri memperhatikan Jhon dari balik jendela saban hari, seperti yang ia
lakukan sekarang. Suatu saat nanti Adelle ingin menatap senyum dan tawa itu
dari dekat, keinginan itu sudah lama ia pendam karena bibi Bertha tidak pernah
mengizinkan.
Adelle
melihat Jhon membungkukkan badan sambil menunjuk-nunjuk koleksi Dahlia yang
berjajar di taman depan wohnung mereka. Bibi Bertha yang merawat
bunga-bunga itu, dan karena sekarang pertengahan Mei yang hangat, bunga-bunga itu mekar dengan sempurna.
Adelle menajamkan telinganya, ia ingin mendengar perbincangan mereka lebih
jelas.
“Aku
tahu Dahlia yang berwarna pink ini, Dahlia park princess”, ujar Jhon. Sekarang
ia berjongkok disamping tanaman itu.
Bibi
Bertha tersenyum, “Benar, Jhon”, jawabnya singkat saja. Adelle tahu mengapa
bibinya tidak terlalu antusias, karena perbincangan itu sebenarnya telah
terjadi berulang kali, sekali seminggu selama musim semi. Adelle beranjak dari
tempatnya berdiri untuk mengambil gunting tanaman karena sebentar lagi bibi
Bertha akan memotong setangkai Dahlia itu untuk Jhon. Bukan, lebih tepatnya
untuk Janice.
Benar
saja, tak lama bibi Bertha masuk ke dalam dan mengambil gunting dari tangan
Adelle, “Kamu sudah menyiapkan sepeda?”, tanyanya.
Adelle
mengangguk, “Mau kemana Jhon hari ini?.”
“Schwerin
Schloss”, jawabnya singkat saja sambil berjalan keluar menemui Jhon. Dibalik
jendela Adelle melihat bibinya memberi setangkai Dahlia yang diterima Jhon dengan senyum lebar.
“Danke,
Frau Bertha, Janice akan senang sekali menerima bunga ini”, ujar Jhon kemudian
menaiki sepedanya dan permisi dengan sopan. Bertha menatap punggung Jhon yang
berlalu dengan iba, matanya menjadi sedikit berair. Terdengar suara gemeretak pelan, Bertha menoleh kebelakang dan
melihat Adelle telah siap dengan sepedanya.
“Cepat
kau ikuti, sebelum kehilngan jejak”, perintahnya tegas.
Adelle
mengangguk dan mengayuh sepedanya dengan cepat menyusul Jhon, tetapi dengan
jarak yang tidak akan membuat lelaki itu curiga. Setelah jarak yang dirasa pas
ia mengayuh sepedanya dengan santai. Sudah seminggu ia menggantikan asisten
bibinya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tugasnya terlihat sederhana saja,
mengikuti Jhon sepanjang hari sejak lelaki peranakan Jerman-Inggris itu keluar
apartemen sampai ia pulang sebelum matahari terbenam. Tentu bukan hal yang
mudah, karena ia tidak boleh melepaskan perhatian walau sebentar dari lelaki
itu. Pekerjaannya semakin sulit karena Jhon tidak boleh tahu tentangnya. Ketika
Adelle bertanya mengapa, bibi Bertha hanya menjawab, “Kau tidak mau membuat
Janice cemburu, bukan?”, mendengar itu Adelle tidak bertanya lebih banyak lagi.
Segala hal memang bisa terjadi diluar sini, tetapi itu lebih aman dibandingkan
tugas bibi Bertha yang menjaganya diwaktu malam.
Ya,
lebih aman. Karena Jhon yang dikenal banyak orang disiang hari sangat berbeda
dengan Jhon dimalam hari. Ketika matahari terbenam, tidak ada lagi Jhon Astor
yang tampan, ramah dan baik hati. Lelaki tinggi tegap berumur 23 tahun itu
lenyap menjelma anak kecil 10 tahun yang depresi, selalu bersembunyi ketakutan
dibawah selimut dengan muka pucat, bahkan terkadang melakukan tindakan nekat
dan ingin bunuh diri. Bibi Bertha telah menjaganya selama lima tahun,
sebenarnya lebih lama dari itu, tetapi Jhon banyak menghabiskan waktunya
dipusat rehabilitasi. Hingga lima tahun lalu, bibi Bertha berhasil meyakinkan
bahwa Jhon tidak berbahaya dan berhak hidup normal seperti orang lain disiang
hari, dan dimalam hari ia bertanggung jawab penuh menjaganya. Tentu saja dengan
syarat wajib lapor.
Adelle
menghentikan sepeda, sekarang mereka berada di depan Nikolaikirche, gereja merah tertinggi ke dua di dunia yang berada di Wismar. Jhon turun dari
sepeda dan masuk kedalam, Adelle hanya berdiri saja, ia tahu sekitar 15 menit
lagi Jhon akan keluar dan melanjutkan perjalanan naik RE. Jhon pergi ke gereja
itu hanya karena Janice menunggunya disana, begitulah setidaknya yang ia
hayalkan. Sejam didalam kereta, mereka tinggal melewati toko-toko dan sampai di
Schwerin Schloss.
Janice adalah tokoh paling berpengaruh dalam hidup Jhon. Bukan sepenuhnya
wanita hayalan yang hidup didalam imajinasi Jhon yang tak bertepi. Janice
adalah ibunya, kekasihnya, dan dimalam hari, Janice menjadi Jeane
yang kejam dan haus darah. Dimasa lalu, ketika Janice masih hidup, ia selalu
membawa Jhon pergi kemana-mana, mengunjungi banyak tempat berdua. Jhon kecil
sempat difonis mengidap mother complex karena tak pernah mau lepas dari ibunya
itu. Menikah dengan lelaki Jerman ternyata tak semudah yang dibayangkan Janice.
Ia tak pernah meninggalkan Inggris sampai kemudian menikah dan hidup dengan
keluarga Astor yang kaya raya. Setelah Jhon lahir, anaknya menjadi satu-satunya tempat
ia menumpahkan segala kepahitan hidup.
Hingga kejadian tragis itu terjadi, Janice meninggal dunia ditangan Jhon.
Adelle tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, bibi Bertha hanya
memberitahunya bahwa malam itu Janice memang berniat bunuh diri dan membunuh
putranya sendiri. Mungkin karena trauma
yang menyakitkan itu, Jhon menciptakan imajinasi dan ilusi tentang ibunya,
didunianya sendiri. Sampai sekarang, Adelle tak pernah bertemu dengan ayah Jhon atau keluarga
Astor lain, mereka menyerahkan segala perawatan Jhon kepada bibi Bertha,
termasuk wohnung besar untuk mereka tinggal.
Mereka telah sampai di Schwerin Schloss sekarang. Sepeda telah diparkir dan
Adelle mengikuti Jhon memasuki taman luas disamping danau. Jhon berhenti
disebuah bangku taman dan mulai membaca. Adelle ikut duduk ditempat yang tidak
jauh, ia memperhatikan rambut coklat gelap Jhon yang bergerak ditiup angin.
Dari tempatnya, Adelle bisa melihat wajah teduh Jhon dibalik buku dilatari
istana Schwerin yang indah dan megah. Selain karena ia perempuan yang sabar dan
menyukai ketenangan, alasan lain Adelle bertahan adalah karena ia menyukai
wajah teduh dan ramah itu. Melihatnya dari kejauhan saja telah membuat hatinya
hangat.
Walaupun wajah teduh itu tidak lama, karena
setelah membaca sejam atau dua, Jhon akan bertemu lagi dengan Janicenya dan
mereka asik berbicara berdua. Jika bosan, biasanya Jhon akan mengajak Janice berjalan-jalan
keliling taman sampai bagian belakang parlemen
Mecklemburg Vorpommern yang berada didalam istana, kemudian bermain-main dengan
anak kecil atau anjing-anjing yang dibawa tuannya. Pulangnya Jhon dan Janice
pergi ke restoran Lehmanns untuk makan. Orang-orang tidak ada yang perduli,
mereka sudah tahu.
***
Aku sedang menuntun sepeda besar ketika kulihat mega mulai memerah.
Sepeda itu terlalu besar untukku tetapi aku bisa membawanya dengan mudah. Aku
sendirian di tempat ramai yang sangat asing. Orang-orang disampingku juga
membawa sepeda mereka sambil berdiri berjajar menunggu sesuatu. Kereta, ya
kereta yang mereka tunggu. Aku tak mengerti kenapa aku bisa berada disini,
bukan di dalam kamarku yang aman.
Tanganku mulai berkeringat, apakah Jane telah menculikku? Tetapi aku
tak melihatnya dimanapun. Apakah aku sedang dalam pelarian? Tubuhku semakin
gemetar, jangankan berlari, melepaskan peganganku dari sepeda saja aku tak
mampu. Aku hafal langkah kaki Jane dan tiba-tiba aku mendengarnya dengan jelas
dibelakangku.
Adelle menggiring sepedanya sambil tetap membuntuti Jhon. Mereka hanya
diselingi beberapa orang yang sama-sama menuntun sepada untuk dibawa masuk RE.
Sudah petang, Jhon telah terlatih untuk pulang ke rumah diwaktu-waktu seperti
ini. Adelle melihat Jhon berdiri diam membelakanginya, ia sudah tak berbicara
sendiri lagi.
Tiba-tiba Adelle merasa lantai yang ia pijak bergetar, semakin lama
semakin kuat. Orang disekitar mulai riuh dan panik. Adelle berusaha tidak
kehilangan Jhon, ia menyeruak diantara para calon penumpang RE dan sepeda,
tetapi Jhon sudah tidak berada ditempatnya lagi. Adelle panik, ia melihat ke segala arah tetapi tak melihat Jhon dimanapun.
Gempa itu telah berhenti tetapi kepanikan masih terasa. RE mengalami delay
selama 15 menit. Keringat dingin muncul satu-satu di dahi Adelle, hal seperti
ini tidak pernah terjadi. Ia harus menghubungi bibi Bertha. Ia tidak sanggup
menghadapi Jhon kecil di tempat seperti ini. Lebih dari itu, Jhon hilang!
“Sial!”, rutuk Adelle kesal,
“Jangan-jangan bibi Bertha tertidur ! Sudah berkali-kali aku mengingatkan untuk
mengganti ring tone handphonenya, tetapi tak pernah digubris. Mana bisa
cicit burung membangunkan dia tidur!”.
Adelle kesal
karena panggilannya tidak terjawab lalu memutuskan melakukan panggilan darurat
911. Setelah itu menghubungi petugas keamanan RE untuk mencari Jhon . Anak
kecil itu pasti tidak akan pergi jauh-jauh. Adelle berlari kesana kemari,
memeriksa tiap sudut dan dan ruangan yang mungkin digunakan Jhon untuk
bersembunyi. Matahari telah sepenuhnya tenggelam.
1 jam telah
berlalu, pencarian Adelle sampai
pada sebuah gedung gelap yang cukup jauh dari RE. Samar-samar Adelle mendengar
isakan, ia menelan ludah dan memberanikan
diri mendekati sumber suara yang berasal dari samping gedung. Jantungnya
berdegup kencang sambil terus meyakinkan dirinya bahwa yang ia hadapi hanyalah
anak kecil yang takut gelap. Benar saja, ia melihat Jhon sedang meringkuk di pojok tembok. Kepalanya disembunyikan
diantara dua lututnya. Adelle benar-benar iba sekaligus takut. Ia mencoba mendekati Jhon
dengan hati-hati sambil menjulurkan tangan menggapai tubuh Jhon yang menggigil.
“Jangan takut,Jhon..aku tak akan
menyakitimu”, ujar Adelle lembut, tetapi suaranya malah terdengar gemetar. Jhon mengangkat kepalanya pelan sekali dan
menatap Adelle dengan mata terbelalak, “Tidaaakkk…!!!!” .
Sedetik kemudian Adelle tidak
ingat apa-apa lagi selain lengkingan teriakan Jhon dan bayangan tubuh yang tiba-tiba menyambarnya. Setelah itu hanya perih yang
dalam dan gelap.
1. Wohnung : Apartemen untuk keluarga
2. Guten Morgen : Selamat pagi
3. Frau : Panggilan untuk perempuan yang lebih tua
4. Scherin Schloss : Istana Schwerin
5. RE : Regional Express, salah satu jenis keret di Jerman
No comments:
Post a Comment