Nusantara

Sunday, November 17, 2013

Ilusi

 
Entah bagaimana lagi aku harus mengutuk malam. Setiap matahari senja yang kuintip di jendela selalu  tenggelam dibalik wohnung itu ketika malam datang, hanya gelap yang ia sisakan. Aku benci menggerutu, bosan mendengar suaraku sendiri yang hanya berisi sumpah serapah. Sebenarnya bukan gelap yang membuatku memisuh, karena gelap bisa menjadi penolongku ketika ia datang. Tetapi malam lah yang patut diumpat, ia menjanjikan ketenangan absurd. Husshh..aku harus diam, bahkan berbicara dalam hatipun tak boleh dilakukan. Dia bisa mendengarku kapan saja.
Klik..
Apa aku bilang, dia mendengar ucapanku! Itu adalah suara pintu yang ia tutup. Dia selalu menutup pintu dengan bunyi klik, dia tak boleh tahu bahwa aku hafal dengan kebiasaannya itu. Bisa bahaya. Kurapatkan selimut yang menutupi tubuh kecilku dan memeluk kakiku sendiri. Walaupun meringkuk dibawah meja belajar ini adalah tempat bersembunyi paling aman,  aku tetap harus hati-hati. Aku bukan bocah bodoh lagi yang menyembulkan kepalanya tiba-tiba untuk mengintip, seperti yang kulakukan kemarin saat bersembunyi di bawah tangga.
Oh tidak, aku tidak boleh ingat kejadian itu! Pisau itu mengerikan! Ada darah menetes-netes di ujungnya. Merah dimana-mana..dan dia melangkahkan kakinya pelan-pelan sambil terus mencariku. Dasar bodoh! Kenapa kemarin aku menyembulkan kepala dan membuat suara berisik?? Kemarin dia menoleh ke arah tangga dan membuatku menggigil sampai terkencing saat melihat mata merah mengerikan miliknya dibalik tudung hitamnya itu. Mata yang siap membunuhku kapan saja. Bodoh! Aku tidak boleh membuatnya menoleh lagi dan melihat mata itu. Apapun yang ku lakukan Jeane tidak boleh menemukanku! Dasar bodoh ! mengapa aku harus menyebut namanya? Ia bisa mendengar! Bodoh..! Bodoooh..!!
Srekk..
Aku terkesiap dan menghentikan gerakan tanganku yang memukuli kepala tanpa sadar. Keringat dinginku menetes, perutku mulas. Selimut yang menutupi seluruh tubuhku terasa makin panas, aku bisa mrasakan keringat mengalir dipunggungku. Apa yang harus ku lakukan? Aku telah berbuat bodoh lagi dengan memukuli kepala karena merasa bodoh. Jeane pasti mendengar dan melihat gerakanku itu. Oh tidak..aku menyebut namanya lagi!
Sekarang aku mendengar suara langkah kaki. Itu kakinya! Aku yakin itu langkah kaki miliknya yang semakin mendekat! Apa yang harus aku lakukan?? Keringatku makin banyak, perutku makin mulas dan aku merasa ingin kencing lagi. Bayangan pisau bersimbah darah itu makin jelas! Apa yang harus aku lakukan??! Aku tidak mau mati!!

Cit cit cuitt..cit cit..cuitt..
Syukurlah burung putih dengan bulu-bulu lembut itu datang lagi. Dia pasti jelmaan malaikat karena telah menolongku dua kali. Jeane telah pergi, aku mendengar dia keluar dengan tergesa-gesa. Aku lelah, aku ingin tidur...
“Halo? Adelle? Sudah kubilang jangan menelponku saat sedang bekerja! Ya..ya..dia memang sudah tidur, tapi kamu tahu sendiri suara sekecil apapun bisa mengganggunya. Oke..Oke aku ke bawah sekarang, biar aku sendiri yang menghadapi mereka”. Telepon dimatikan.
“Dasar orang dari Mentri Kesehatan sialan, sudah kubilang aku akan datang besok siang, tetap saja mereka yang datang kerumahku malam ini”. Bertha menggerutu kemudian meminum secangir besar air mineral didepannya. Ia bangun dari sofa tempatnya duduk sambil menoleh kebawah meja belajar besar yang berada di sebelah kanan sofa. Sudah tidak ada gerakan lagi.
Bertha mendekat pelan-pelan, bukan karena tubuhnya gemuk dan usianya memasuki 50 tahun gerakannya menjadi lambat, tetapi karena ia harus bergerak hati-hati. Didepan meja belajar besar itu ia membungkukkan badan dan dengan sangat pelan menyingkap selimut yang menutupi wajah Jhon. Wajah didepannya itu tertidur pulas, tenang tanpa beban. Tetapi Bertha bisa melihat buliran keringat di dahinya, baju tidur bergambar beruang yang dipakai Jhon basah. Oh tidak, ternyata ada genangan lain di bawah.
Bertha menghela nafas, “Anak yang malang..”ujarnya iba. Ia membiarkan wajah Jhon tidak ditutupi selimut  supaya bisa bernafas, setelah itu berjalan keluar ruangan dengan hati-hati. Berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun dan meninggalkan Jhon dibawah meja itu, masih tidur meringkuk di atas genangan air seninya sendiri.

***

Guten Morgen, Frau Bertha.”
Guten  Morgen, Jhon.
Mendengar sapaan itu, Adelle langsung mendekat ke arah blind jendela dan menyingkapnya sedikit. Ia bisa melihat Jhon dan bibinya yang sedang menyiram bunga saling bertukar sapa di halaman depan. Jhon terlihat rapi, ia berdiri disamping sepedanya sambil menyandang tas di pundak. Wajah lelaki itu cerah, ia terlihat beberapa kali tertawa lebar sambil berbincang dengan bibi Bertha. Gigi Jhon yang rapi terlihat saat ia tertawa, matanya sedikit menyipit dan suaranya renyah. Adelle menyukai tawa itu sejak pertama kali bibi Bertha menyuruhnya berdiri memperhatikan Jhon dari balik jendela saban hari, seperti yang ia lakukan sekarang. Suatu saat nanti Adelle ingin menatap senyum dan tawa itu dari dekat, keinginan itu sudah lama ia pendam karena bibi Bertha tidak pernah mengizinkan.
Adelle melihat Jhon membungkukkan badan sambil menunjuk-nunjuk koleksi Dahlia yang berjajar di taman depan wohnung mereka. Bibi Bertha yang merawat bunga-bunga itu, dan karena sekarang  pertengahan Mei yang hangat, bunga-bunga itu mekar dengan sempurna. Adelle menajamkan telinganya, ia ingin mendengar perbincangan mereka lebih jelas.
“Aku tahu Dahlia yang berwarna pink ini, Dahlia park princess”, ujar Jhon. Sekarang ia berjongkok disamping tanaman itu.
Bibi Bertha tersenyum, “Benar, Jhon”, jawabnya singkat saja. Adelle tahu mengapa bibinya tidak terlalu antusias, karena perbincangan itu sebenarnya telah terjadi berulang kali, sekali seminggu selama musim semi. Adelle beranjak dari tempatnya berdiri untuk mengambil gunting tanaman karena sebentar lagi bibi Bertha akan memotong setangkai Dahlia itu untuk Jhon. Bukan, lebih tepatnya untuk Janice.
Benar saja, tak lama bibi Bertha masuk ke dalam dan mengambil gunting dari tangan Adelle, “Kamu sudah menyiapkan sepeda?”, tanyanya.
Adelle mengangguk, “Mau kemana Jhon hari ini?.
“Schwerin Schloss”, jawabnya singkat saja sambil berjalan keluar menemui Jhon. Dibalik jendela Adelle melihat bibinya memberi setangkai Dahlia yang diterima Jhon dengan senyum lebar.
“Danke, Frau Bertha, Janice akan senang sekali menerima bunga ini”, ujar Jhon kemudian menaiki sepedanya dan permisi dengan sopan. Bertha menatap punggung Jhon yang berlalu dengan iba, matanya menjadi sedikit berair. Terdengar suara gemeretak pelan, Bertha menoleh kebelakang dan melihat Adelle telah siap dengan sepedanya.
“Cepat kau ikuti, sebelum kehilngan jejak”, perintahnya tegas.
Adelle mengangguk dan mengayuh sepedanya dengan cepat menyusul Jhon, tetapi dengan jarak yang tidak akan membuat lelaki itu curiga. Setelah jarak yang dirasa pas ia mengayuh sepedanya dengan santai. Sudah seminggu ia menggantikan asisten bibinya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tugasnya terlihat sederhana saja, mengikuti Jhon sepanjang hari sejak lelaki peranakan Jerman-Inggris itu keluar apartemen sampai ia pulang sebelum matahari terbenam. Tentu bukan hal yang mudah, karena ia tidak boleh melepaskan perhatian walau sebentar dari lelaki itu. Pekerjaannya semakin sulit karena Jhon tidak boleh tahu tentangnya. Ketika Adelle bertanya mengapa, bibi Bertha hanya menjawab, “Kau tidak mau membuat Janice cemburu, bukan?”, mendengar itu Adelle tidak bertanya lebih banyak lagi. Segala hal memang bisa terjadi diluar sini, tetapi itu lebih aman dibandingkan tugas bibi Bertha yang menjaganya diwaktu malam.
Ya, lebih aman. Karena Jhon yang dikenal banyak orang disiang hari sangat berbeda dengan Jhon dimalam hari. Ketika matahari terbenam, tidak ada lagi Jhon Astor yang tampan, ramah dan baik hati. Lelaki tinggi tegap berumur 23 tahun itu lenyap menjelma anak kecil 10 tahun yang depresi, selalu bersembunyi ketakutan dibawah selimut dengan muka pucat, bahkan terkadang melakukan tindakan nekat dan ingin bunuh diri. Bibi Bertha telah menjaganya selama lima tahun, sebenarnya lebih lama dari itu, tetapi Jhon banyak menghabiskan waktunya dipusat rehabilitasi. Hingga lima tahun lalu, bibi Bertha berhasil meyakinkan bahwa Jhon tidak berbahaya dan berhak hidup normal seperti orang lain disiang hari, dan dimalam hari ia bertanggung jawab penuh menjaganya. Tentu saja dengan syarat wajib lapor.
Adelle menghentikan sepeda, sekarang mereka berada di depan Nikolaikirche, gereja merah tertinggi ke dua di dunia yang berada di Wismar. Jhon turun dari sepeda dan masuk kedalam, Adelle hanya berdiri saja, ia tahu sekitar 15 menit lagi Jhon akan keluar dan melanjutkan perjalanan naik RE. Jhon pergi ke gereja itu hanya karena Janice menunggunya disana, begitulah setidaknya yang ia hayalkan. Sejam didalam kereta, mereka tinggal melewati toko-toko dan sampai di Schwerin Schloss.
Janice adalah tokoh paling berpengaruh dalam hidup Jhon. Bukan sepenuhnya wanita hayalan yang hidup didalam imajinasi Jhon yang tak bertepi. Janice adalah ibunya, kekasihnya, dan dimalam hari, Janice menjadi Jeane yang kejam dan haus darah. Dimasa lalu, ketika Janice masih hidup, ia selalu membawa Jhon pergi kemana-mana, mengunjungi banyak tempat berdua. Jhon kecil sempat difonis mengidap mother complex karena tak pernah mau lepas dari ibunya itu. Menikah dengan lelaki Jerman ternyata tak semudah yang dibayangkan Janice. Ia tak pernah meninggalkan Inggris sampai kemudian menikah dan hidup dengan keluarga Astor yang kaya raya.  Setelah Jhon lahir, anaknya menjadi satu-satunya tempat ia menumpahkan segala kepahitan hidup.
Hingga kejadian tragis itu terjadi, Janice meninggal dunia ditangan Jhon. Adelle tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, bibi Bertha hanya memberitahunya bahwa malam itu Janice memang berniat bunuh diri dan membunuh putranya sendiri. Mungkin karena trauma yang menyakitkan itu, Jhon menciptakan imajinasi dan ilusi tentang ibunya, didunianya sendiri. Sampai sekarang, Adelle tak pernah bertemu dengan ayah Jhon atau keluarga Astor lain, mereka menyerahkan segala perawatan Jhon kepada bibi Bertha, termasuk wohnung besar untuk mereka tinggal.
Mereka telah sampai di Schwerin Schloss sekarang. Sepeda telah diparkir dan Adelle mengikuti Jhon memasuki taman luas disamping danau. Jhon berhenti disebuah bangku taman dan mulai membaca. Adelle ikut duduk ditempat yang tidak jauh, ia memperhatikan rambut coklat gelap Jhon yang bergerak ditiup angin. Dari tempatnya, Adelle bisa melihat wajah teduh Jhon dibalik buku dilatari istana Schwerin yang indah dan megah. Selain karena ia perempuan yang sabar dan menyukai ketenangan, alasan lain Adelle bertahan adalah karena ia menyukai wajah teduh dan ramah itu. Melihatnya dari kejauhan saja telah membuat hatinya hangat.
Walaupun wajah teduh itu tidak lama, karena setelah membaca sejam atau dua, Jhon akan bertemu lagi dengan Janicenya dan mereka asik berbicara berdua. Jika bosan, biasanya Jhon akan mengajak Janice berjalan-jalan keliling taman sampai bagian belakang parlemen Mecklemburg Vorpommern yang berada didalam istana, kemudian bermain-main dengan anak kecil atau anjing-anjing yang dibawa tuannya. Pulangnya Jhon dan Janice pergi ke restoran Lehmanns untuk makan. Orang-orang tidak ada yang perduli, mereka sudah tahu.
***
Aku sedang menuntun sepeda besar ketika kulihat mega mulai memerah. Sepeda itu terlalu besar untukku tetapi aku bisa membawanya dengan mudah. Aku sendirian di tempat ramai yang sangat asing. Orang-orang disampingku juga membawa sepeda mereka sambil berdiri berjajar menunggu sesuatu. Kereta, ya kereta yang mereka tunggu. Aku tak mengerti kenapa aku bisa berada disini, bukan di dalam kamarku yang aman.
Tanganku mulai berkeringat, apakah Jane telah menculikku? Tetapi aku tak melihatnya dimanapun. Apakah aku sedang dalam pelarian? Tubuhku semakin gemetar, jangankan berlari, melepaskan peganganku dari sepeda saja aku tak mampu. Aku hafal langkah kaki Jane dan tiba-tiba aku mendengarnya dengan jelas dibelakangku. 
Adelle menggiring sepedanya sambil tetap membuntuti Jhon. Mereka hanya diselingi beberapa orang yang sama-sama menuntun sepada untuk dibawa masuk RE. Sudah petang, Jhon telah terlatih untuk pulang ke rumah diwaktu-waktu seperti ini. Adelle melihat Jhon berdiri diam membelakanginya, ia sudah tak berbicara sendiri lagi. 
Tiba-tiba Adelle merasa lantai yang ia pijak bergetar, semakin lama semakin kuat. Orang disekitar mulai riuh dan panik. Adelle berusaha tidak kehilangan Jhon, ia menyeruak diantara para calon penumpang RE dan sepeda, tetapi Jhon sudah tidak berada ditempatnya lagi. Adelle panik, ia melihat ke segala arah tetapi tak melihat Jhon dimanapun. 
Gempa itu telah berhenti tetapi kepanikan masih terasa. RE mengalami delay selama 15 menit. Keringat dingin muncul satu-satu di dahi Adelle, hal seperti ini tidak pernah terjadi. Ia harus menghubungi bibi Bertha. Ia tidak sanggup menghadapi Jhon kecil di tempat seperti ini. Lebih dari itu, Jhon hilang!
“Sial!”, rutuk Adelle kesal, “Jangan-jangan bibi Bertha tertidur ! Sudah berkali-kali aku mengingatkan untuk mengganti ring tone handphonenya, tetapi tak pernah digubris. Mana bisa cicit burung membangunkan dia tidur!”.
Adelle kesal karena panggilannya tidak terjawab lalu memutuskan melakukan panggilan darurat 911. Setelah itu menghubungi petugas keamanan RE untuk mencari Jhon . Anak kecil itu pasti tidak akan pergi jauh-jauh. Adelle berlari kesana kemari, memeriksa tiap sudut dan dan ruangan yang mungkin digunakan Jhon untuk bersembunyi. Matahari telah sepenuhnya tenggelam.
1 jam telah berlalu, pencarian Adelle sampai pada sebuah gedung gelap yang cukup jauh dari RE. Samar-samar Adelle mendengar isakan, ia menelan ludah dan memberanikan diri mendekati sumber suara yang berasal dari samping gedung. Jantungnya berdegup kencang sambil terus meyakinkan dirinya bahwa yang ia hadapi hanyalah anak kecil yang takut gelap. Benar saja, ia melihat Jhon sedang meringkuk  di pojok tembok. Kepalanya disembunyikan diantara dua lututnya. Adelle benar-benar iba sekaligus takut. Ia mencoba mendekati Jhon dengan hati-hati sambil menjulurkan tangan menggapai tubuh Jhon yang menggigil.
“Jangan takut,Jhon..aku tak akan menyakitimu”, ujar Adelle lembut, tetapi suaranya malah terdengar gemetar. Jhon mengangkat kepalanya pelan sekali dan menatap Adelle dengan mata terbelalak, “Tidaaakkk…!!!!” .
Sedetik kemudian Adelle tidak ingat apa-apa lagi selain lengkingan teriakan Jhon dan bayangan tubuh  yang tiba-tiba menyambarnya. Setelah itu hanya perih yang dalam dan gelap.  




1.      Wohnung : Apartemen untuk keluarga
2.      Guten Morgen : Selamat pagi
3.      Frau : Panggilan untuk perempuan yang lebih tua
4.      Scherin Schloss : Istana Schwerin
5.      RE : Regional Express, salah satu jenis keret di Jerman


No comments:

Post a Comment