Sejak kecil aku memang gampang bosan dan menyukai perubahan. Bagiku yang masih menginjak 7 tahun, aku sudah mengerti bahwa perubahan adalah nafas hidup. Yang diam memang belum tentu mati, tetapi mereka yang memilih diam saja, tidak bergerak, tidak berfikir, maka ia tak lebih berharga dari pada mayat. Ibuku bilang, kata-kata yang halus selalu diperlukan untuk berbicara, tetapi aku kurang bisa bermetafora. Karena sejatinya begitulah anak kecil, mereka lugu dan jujur. Tidak usah berpuisi untuk menyatakan maksud, karena malu menyampaikan kebenaran adalah perbuatan memalukan itu sendiri.
Oh, tetapi hari ini aku tidak sedang
ingin bercerita tentang jujur atau tidak. Aku sedang ingin berbicara tentang
kecintaanku pada gerak. Seperti aliran air yang memiliki tujuan pasti, jernih
memercik sambil terus berlalu tanpa lupa meninggalkan pesona kesejukan. Juga
ombak yang seolah hilang ditelan pantai, tetapi tidak, ia hanya mundur sebentar
untuk kemudian datang lagi. Aku juga menyukai suara kepakan burung, atau
gerakan awan yang gemar berubah bentuk. Ah, ternyata terkadang aku juga suka
bermetafora.
Aku mencintai gerak dan aku paling suka
berlari. Suara hentakan kakiku menginjak tanah, derakan kerikil, desingan angin
di telinga, juga degupan jantung yang terdengar kuat ketika aku berhenti.
Menakjubkan..! apalagi ketika aku berlari dibawah guyuran hujan. Bisakah kalian
bayangkan betapa indahnya suara-suara
yang muncul saat itu? Teriakan ceria teman-temanku di bawah hujan dan tawa
mereka yang keras, dengan mulut terbuka lebar dan gigi yang tak rapat. Ditambah
suara deras hujan yang berbaur cipratan air bercampur lumpur dibawah hentakan
kaki kami. Rasanya tersenyum saja tak cukup.
Aku menyukai hujan. Ketika aku lelah
berlari, maka yang kulakukan adalah berdiri merentangkan tangan lebar-lebar,
kupejamkan mata dan menengadahkan wajah ke langit, merasakan tiap-tiap tetes
air yang menyentuh kulitku. Dingin memasuki tiap pori-poriku, tapi setelah itu
aku merasakan kehangatan ditiap aliran darahku, menentramkan hati, dan
membuatku selalu bisa tersenyum. Aku merasa menyatu dengan sekitar, seolah aku
adalah mereka, aku adalah alam dan semesta.
Tahukah kamu mengapa aku begitu
terpesona pada hujan?? Tidak hanya itu, aku juga tak takut. Apa yang perlu
ditakutkan dari ribuan titik-titik air yang jatuh beribu kilometer dari langit?
Oh bukan, bukan dari langit, tetapi dari awan yang berbaik hati. Mengapa?
Karena ia mau mengembalikan lagi air yang dipinjamkan oleh bumi, begitu kakakku
bilang.
Tetapi sebenarnya aku tak hanya terpesona
pada hujan, seperti yang telah aku ceritakan diawal, aku mencintai gerak. Maka
semua yang ada di alam semesta membuatku terkagum. Kalian pasti akan bertanya, “bagaimana
dengan batu?? Bukankah dia hanya diam saja?”
Baiklah, aku akan menjawabnya dan menceritakan
sebuah rahasia yang tak akan kalian lupa..
Kakakku yang menyukai musik pernah
berkata, “Semua memiliki iramanya sendiri; angin yang bertiup, air yang
mengalir, ombak di laut, rumput-rumput dilapangan, bahkan bintang-bintang yang
berkelip di langit”.
“Tetapi aku tak mendengarnya”,ujarku
membantah.
Kakakku tersenyum,”Tidak dengan
telinga, dik. Kamu hanya bisa mendengarnya dengan ini”, ujarnya sambil menunjuk
dadaku, “dengan hatimu”.
Aku tertegun dan didalam hati
mengulangi kata-kata itu pelan-pelan, “Dengan hati”. Sekarang aku mengerti
mengapa kakakku bisa begitu menyukai musik dan bagaimana ia begitu mudah
menggerakkan jari-jarinya diatas piano. Alam semesta memiliki irama dan
simfoninya sendiri, dan kakakku mendengarnya dengan hatinya.
Maka aku mencoba mendengarkan
semesta berirama dengan hatiku, menajamkan telinga, menentramkan pikiran, dan
membiarkan jiwa dan rasaku menangkap alunan lembut simfoni alam. Mengertikah
kalian sekarang? Bahwa semua yang telah tercipta, tak pernah diciptakan
sia-sia. Seperti batu yang hanya terlihat diam, tetapi dengan diamnya ia
melakukan tugasnya sebagai penopang. Bagiku batu adalah representasi kecil dari
sebuah gunung dan juga alam semesta.
Tetapi perkataan ibuku lah yang
paling aku suka. Suatu senja di halaman rumah diatas bangku taman, dibawah
pohon mangga yang berbuah kecil-kecil. Angin sore berhembus lembut menggerakkan
daun-daun dengan sinar jingga matahari senja yang lembut. Aku sedang menggerakkan
kincir angin ditanganku keatas dan kebawah, semakin kencang kincirnya
berputar-putar, semakin keras aku tergelak.
Ibuku yang duduk menjuntaikan kaki
disampingku tersenyum, ia membelai rambutku dan membaca beberapa ayat alqur’an
dengan lembut, kemudian membacakan untukku artinya, “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi
orang yang berakal[1]” . Aku menatapnya
dengan mata membulat sambil mendengarkan penuh takjub..
Ibu tersenyum lalu berkata kepadaku,
“Kamu tahu, nak, bahwa pohon-pohon, binatang, angin, air, hujan, bulan,
matahari, bintang dan semua yang ada di dunia ini mereka beribadah dan
bertasbih kepada Allah dengan caranya masing-masing. Alam semesta dan segala
isinya adalah tentara Allah yang diciptakan tanpa kesia-siaan”. Ujarnya serius
sambil menatapku lekat-lekat. Ia sedang memberitahuku sebuah rahasia! Sebuah
rahasia besar yang menguak semua teka-teki alam semesta dan hakikat penciptaan.
Pesona kincir angin kecil ditanganku
terkalahkan dengan kata-kata memikat itu. Aku semakin mendekat kearah ibu,
ingin untuk mendengarkan lebih banyak. Beliau
kembali mengutip ayat Alqur’an, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah;
kepada-Nya bertasbih apa yang dilangit dan di bumi, dan (juga) burung dengan
mengembangkan sayapnya. Masing-masing mengetahui (cara) sembahyang dan
tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan[2]”.
Ibuku tersenyum dan melanjutkan, "Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh,
dan bumi (juga), dan segala yang ada di dalamnya. Dan tidak ada suatu pun
melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih
mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun, lagi Maha Pengampun[3]"
Aku tertegun lebih dalam, kata-kata
itu lebih menakjubkan dari irama hati milik semesta yang diberi tahu kakakku.
Ibu tersenyum lebih lembut sambil terus menatapku lekat, kemudian memegang
kedua lenganku dan menekannya kuat, seolah menyalurkan keberanian “Jangan
pernah takut, semua yang diciptakan Allah hanya punya satu tujuan, yaitu
menyembah-Nya”. Aku menelan ludah dan memahami benar perkataan ibuku itu, bahwa
dengan nama-Nya tak akan pernah ada kesulitan dan ketakutan yang tak bisa kita
lalui.
Aku lalu menatap daun-daun yang
ditiup angin, burung-burung yang terbang bergerombol pulang ke sarangnya, juga
matahari yang perlahan tenggelam memerah di ufuk barat. Mereka adalah tentara Allah,
mereka bertasih dengan caranya masing-masing. Itulah simfoni mereka yang bisa
kita dengar dengan hati dan akal.
Maka ketika suatu hari aku berlari
dibawah guyuran hujan, atau berjalan dibawah terik matahari, aku tak akan
takut, karena mereka adalah tentara Allah yang juga beribadah dan bertasbih
kepada-Nya.
No comments:
Post a Comment