Nusantara

Tuesday, August 13, 2013

Tentara Allah


Sejak kecil aku memang gampang bosan dan menyukai perubahan. Bagiku yang masih menginjak 7 tahun, aku sudah mengerti bahwa perubahan adalah nafas hidup. Yang diam memang belum tentu mati, tetapi mereka yang memilih diam saja, tidak bergerak, tidak berfikir, maka ia tak lebih berharga dari pada mayat. Ibuku bilang, kata-kata yang halus selalu diperlukan untuk berbicara, tetapi aku kurang bisa bermetafora. Karena sejatinya begitulah anak kecil, mereka lugu dan jujur. Tidak usah berpuisi untuk menyatakan maksud, karena malu menyampaikan kebenaran adalah perbuatan memalukan itu sendiri.
Oh, tetapi hari ini aku tidak sedang ingin bercerita tentang jujur atau tidak. Aku sedang ingin berbicara tentang kecintaanku pada gerak. Seperti aliran air yang memiliki tujuan pasti, jernih memercik sambil terus berlalu tanpa lupa meninggalkan pesona kesejukan. Juga ombak yang seolah hilang ditelan pantai, tetapi tidak, ia hanya mundur sebentar untuk kemudian datang lagi. Aku juga menyukai suara kepakan burung, atau gerakan awan yang gemar berubah bentuk. Ah, ternyata terkadang aku juga suka bermetafora.
 Aku mencintai gerak dan aku paling suka berlari. Suara hentakan kakiku menginjak tanah, derakan kerikil, desingan angin di telinga, juga degupan jantung yang terdengar kuat ketika aku berhenti. Menakjubkan..! apalagi ketika aku berlari dibawah guyuran hujan. Bisakah kalian bayangkan  betapa indahnya suara-suara yang muncul saat itu? Teriakan ceria teman-temanku di bawah hujan dan tawa mereka yang keras, dengan mulut terbuka lebar dan gigi yang tak rapat. Ditambah suara deras hujan yang berbaur cipratan air bercampur lumpur dibawah hentakan kaki kami. Rasanya tersenyum saja tak cukup.
Aku menyukai hujan. Ketika aku lelah berlari, maka yang kulakukan adalah berdiri merentangkan tangan lebar-lebar, kupejamkan mata dan menengadahkan wajah ke langit, merasakan tiap-tiap tetes air yang menyentuh kulitku. Dingin memasuki tiap pori-poriku, tapi setelah itu aku merasakan kehangatan ditiap aliran darahku, menentramkan hati, dan membuatku selalu bisa tersenyum. Aku merasa menyatu dengan sekitar, seolah aku adalah mereka, aku adalah alam dan semesta.
Tahukah kamu mengapa aku begitu terpesona pada hujan?? Tidak hanya itu, aku juga tak takut. Apa yang perlu ditakutkan dari ribuan titik-titik air yang jatuh beribu kilometer dari langit? Oh bukan, bukan dari langit, tetapi dari awan yang berbaik hati. Mengapa? Karena ia mau mengembalikan lagi air yang dipinjamkan oleh bumi, begitu kakakku bilang.
Tetapi sebenarnya aku tak hanya terpesona pada hujan, seperti yang telah aku ceritakan diawal, aku mencintai gerak. Maka semua yang ada di alam semesta membuatku terkagum. Kalian pasti akan bertanya, “bagaimana dengan batu?? Bukankah dia hanya diam saja?”
Baiklah, aku akan menjawabnya dan menceritakan sebuah rahasia yang tak akan kalian lupa..

Kakakku yang menyukai musik pernah berkata, “Semua memiliki iramanya sendiri; angin yang bertiup, air yang mengalir, ombak di laut, rumput-rumput dilapangan, bahkan bintang-bintang yang berkelip di langit”.
“Tetapi aku tak mendengarnya”,ujarku membantah.
Kakakku tersenyum,”Tidak dengan telinga, dik. Kamu hanya bisa mendengarnya dengan ini”, ujarnya sambil menunjuk dadaku, “dengan hatimu”.
Aku tertegun dan didalam hati mengulangi kata-kata itu pelan-pelan, “Dengan hati”. Sekarang aku mengerti mengapa kakakku bisa begitu menyukai musik dan bagaimana ia begitu mudah menggerakkan jari-jarinya diatas piano. Alam semesta memiliki irama dan simfoninya sendiri, dan kakakku mendengarnya dengan hatinya.
Maka aku mencoba mendengarkan semesta berirama dengan hatiku, menajamkan telinga, menentramkan pikiran, dan membiarkan jiwa dan rasaku menangkap alunan lembut simfoni alam. Mengertikah kalian sekarang? Bahwa semua yang telah tercipta, tak pernah diciptakan sia-sia. Seperti batu yang hanya terlihat diam, tetapi dengan diamnya ia melakukan tugasnya sebagai penopang. Bagiku batu adalah representasi kecil dari sebuah gunung dan juga alam semesta.
Tetapi perkataan ibuku lah yang paling aku suka. Suatu senja di halaman rumah diatas bangku taman, dibawah pohon mangga yang berbuah kecil-kecil. Angin sore berhembus lembut menggerakkan daun-daun dengan sinar jingga matahari senja yang lembut. Aku sedang menggerakkan kincir angin ditanganku keatas dan kebawah, semakin kencang kincirnya berputar-putar, semakin keras aku tergelak.
Ibuku yang duduk menjuntaikan kaki disampingku tersenyum, ia membelai rambutku dan membaca beberapa ayat alqur’an dengan lembut, kemudian membacakan untukku artinya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya  malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal[1] . Aku menatapnya dengan mata membulat sambil mendengarkan penuh takjub..
Ibu tersenyum lalu berkata kepadaku, “Kamu tahu, nak, bahwa pohon-pohon, binatang, angin, air, hujan, bulan, matahari, bintang dan semua yang ada di dunia ini mereka beribadah dan bertasbih kepada Allah dengan caranya masing-masing. Alam semesta dan segala isinya adalah tentara Allah yang diciptakan tanpa kesia-siaan”. Ujarnya serius sambil menatapku lekat-lekat. Ia sedang memberitahuku sebuah rahasia! Sebuah rahasia besar yang menguak semua teka-teki alam semesta dan hakikat penciptaan.
Pesona kincir angin kecil ditanganku terkalahkan dengan kata-kata memikat itu. Aku semakin mendekat kearah ibu, ingin untuk mendengarkan lebih banyak.  Beliau kembali mengutip ayat Alqur’an, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-Nya bertasbih apa yang dilangit dan di bumi, dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan[2]”.
Ibuku tersenyum dan melanjutkan,  "Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh, dan bumi (juga), dan segala yang ada di dalamnya. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun, lagi Maha Pengampun[3]"
Aku tertegun lebih dalam, kata-kata itu lebih menakjubkan dari irama hati milik semesta yang diberi tahu kakakku. Ibu tersenyum lebih lembut sambil terus menatapku lekat, kemudian memegang kedua lenganku dan menekannya kuat, seolah menyalurkan keberanian “Jangan pernah takut, semua yang diciptakan Allah hanya punya satu tujuan, yaitu menyembah-Nya”. Aku menelan ludah dan memahami benar perkataan ibuku itu, bahwa dengan nama-Nya tak akan pernah ada kesulitan dan ketakutan yang tak bisa kita lalui.
Aku lalu menatap daun-daun yang ditiup angin, burung-burung yang terbang bergerombol pulang ke sarangnya, juga matahari yang perlahan tenggelam memerah di ufuk barat. Mereka adalah tentara Allah, mereka bertasih dengan caranya masing-masing. Itulah simfoni mereka yang bisa kita dengar dengan hati dan akal.
Maka ketika suatu hari aku berlari dibawah guyuran hujan, atau berjalan dibawah terik matahari, aku tak akan takut, karena mereka adalah tentara Allah yang juga beribadah dan bertasbih kepada-Nya.




[1] QS Ali Imron :190-191
[2] QS an nuur: 41
[3] QS Isra: 44

No comments:

Post a Comment