Nusantara
Wednesday, April 17, 2013
Sunday, April 14, 2013
Luffiess.. :)
Seperti cinta, ia datang tanpa direncanakan, tanpa disadari kita terikat sendiri. Tidak usah melakukan apa-apa, karena semesta seolah bergerak, menarik kita terjebak, mengikat kita kuat-kuat, sehingga akhirnya kita tidak ingin lepas. Aku beruntung Luf datang saat aku berada dalam masa pencarian jati diri. Peralihan antara bocah kecil menuju remaja :) Sangat beruntung, karena keberuntungan yang tidak bernilai adalah menemukan sahabat. Sahabat seperti mereka :)
Luffiess
Luffiess
Friday, April 12, 2013
Wanita ( bukan ) basa-basi
Lemah menua takdir usia
Tertatih rintih perjalanan asa
Ia disana, tetap menatap lekat rapat
Pada matahari angkuh
Pada dingin angin menggigit
pada kerikil debu dekil
Benar saja !
Ia bukan wanita basa-basi
Seperti sahdu gita yang tak lekang
Selembut hangat senja peluk malam
Sudahi pedih peri
Mendekap derai damai rintik pagi
Friday, April 5, 2013
Mutiara di dalam Pasir
Aku sudah lama mengenal Adam, anak
kecil berumur delapan tahun yang tinggal bersebelahan dengan rumah nenekku di
kampung. Setiap setahun dua kali aku dan keluarga berkunjung ke rumah nenek, di
hari Lebaran dan liburan sekolah akhir tahun, karena itu aku sering melihat
anak kecil periang itu. Adam yang aku kenal adalah anak lelaki bertubuh kurus
dan berkulit hitam. Matanya bulat besar sehingga wajahnya semakin terlihat
tirus dan kecil. Alis matanya tebal dan senyumnya lebar. Suara Adam juga
nyaring, aku sering mendengarnya ketika ia tertawa terbahak-bahak atau ketika
ia berjualan keliling kampung.
Adam sering berjualan apa saja,
terkadang ia menjual kue-kue, kemudian menjual ikan, menjual es, menjual
sayuran, menjual mainan, menjual sendok dan garpu, menjual buah-buahan, dan
jika tak ada yang bisa dijual, ia akan menjual suaranya yang nyaring dan bagus itu,
bernyanyi keliling kampung.
Karena itu Adam terkenal, semua
orang di kampung mengenalnya, anak lelaki yang selalu kelihatan hidup dan penuh
semangat. Begitu juga aku dan keluargaku yang hanya sesekali berkunjung ke
kampung, jika aku sampai di rumah nenek, maka aku tak akan lupa menanyakan Adam
dan ibunya. Bagaimana kabar mereka? Adakah cerita baru tentang Adam? Apakah ia
menjadi gemuk? Apakah tawanya semakin keras? dan apakah ia masih sering
bernyanyi keliling kampung dengan tabuhan alat musik kayunya?
Semua tentang Adam menarik
perhatianku. Juga sekarang, ketika hari ini hujan lebat mengguyur kampung,
anak-anak kecil berlari-lari dibawah hujan dengan hanya memakai celana pendek.
Adam ada diantara mereka, berlari-lari sambil tertawa, sesekali ia
melompat-lompat diatas air sehingga cipratan-cipratan air membasahinya dan
teman-temannya. Mereka kemudian saling mendorong hingga terjatuh diatas lumpur,
kemudian tertawa-tawa lagi, dan bekejar-kejaran. Aku ikut tertawa melihat
tingkah mereka yang begitu riang dan bebas, apalagi ketika Adam mulai menyanyi
dan memasang aksi seolah ia memainkan gitar, tingkahnya benar-benar lucu. Aku
sampai betah memperhatikan mereka dari teras rumah nenek yang terlindung dari
hujan. Ingin rasanya aku ikut bermain dengan anak-anak kecil itu.
Awalnya aku tidak setertarik ini
dengan Adam, anak kecil yang tinggal dengan ibunya di gubuk bambu mereka itu
hanya kuanggap tetangga biasa. Apalagi aku yang jarang datang kerumah nenek,
membuat tiap kejadian dalam hidup Adam dan ibunya bagaikan angin lewat saja,
tak berarti apa-apa. Tetapi kemudian, dua tahun lalu, di suatu hari ketika
matahari sore bersinar hangat, aku melihat Adam sedang duduk diatas dipan
bambu, dibawah pohon jambu air yang ada didepan rumahnya. Pohon itu berdaun
sangat rindang, angin sore membuat daun-daunnya tertiup bergerak, dimataku
daun-daun itu seperti menari mengikuti irama ketukan-ketukan tangan kurus Adam
diatas gendang kecil dari kayu.
Aku memperhatikan tingkah Adam dan
ikut menikmati irama musiknya yang lumayan menyenangkan. Semalam tanpa sengaja
nenekku bercerita tentang Adam yang yatim, ayahnya meninggal ketika ia masih
berumur 4 tahun. Sedangkan ibunya sudah lumayan tua karena menikah diusia yang
tak muda. Adam kecil tumbuh dengan rasa prihatin yang tinggi, ia begitu peduli
dengan ibunya, karena itu ia tak segan-segan bekerja apa saja untuk membantu meringankan
beban orang tuanya. Walaupun begitu, ia tak pernah terlihat sedih, kehidupan
dan kerja keras dijalaninya dengan tawa lepas dan polos khas anak-anak. Ia
bebas dan bahagia. Begitu aku menilainya.
Karenanya disore hari itu aku
menghampirinya untuk pertama kali. Umur Adam masih 6 tahun saat itu. Ia
mengenakan kaos biru kebesaran dan celana pendek hitam. Aku duduk disampingnya
dan tersenyum.
“Berlatih, Dam?”, aku memulai obrolan.
Adam menoleh dan nyengir lebar. Ia menghentikan
ketukan-ketukan iramanya diatas gendang kayu, “Iya kak, Adam mau nyanyi
keliling kampung. Kakak namanya kak Aisyah, ya?”
Aku mengangguk. Umurku dan Adam berbeda 9 tahun.
“Mainkan saja lagi, kakak senang mendengarnya”, ujarku. Adam tersenyum dan
mulai memainkan alat musiknya lagi, sebuah gendang kecil dari kayu. Kali ini ia
tak hanya bermain musik, tetapi juga bernyanyi pelan-pelan. Walaupun pelan aku
bisa mendengar kemerduan suaranya.
“Adam tak pernah sedih, ya?”, tiba-tiba aku
bertanya. Tetapi kemudian merasa bahwa pertanyaanku terdengar aneh.
“Mmm..maksud kakak...”, sambungku bingung untuk menjelaskan.
“Mengapa harus sedih?”, Adam balik bertanya. Seperti
dugaanku, pertanyaanku yang asal itu pasti membuat orang lain bingung. Aku tak
bisa menjawab pertanyaan Adam.
“Ibu Adam bilang, kita tidak boleh sedih karena
sedih itu tandanya tidak bersyukur”, anak kecil umur 6 tahun itu menjelaskan
kepadaku dengan gaya polosnya. Aku yang sudah dewasa berumur 15 tahun saat itu,
tertarik dengan keluguannya.
“Trus ibu Adam bilang apa lagi?”
Adam terlihat berpikir, kemudian katanya, “Ibu
bilang, manusia itu makhluk ciptaan Allah paling istimewa, karena itu Allah
sangat sayang dengan manusia, makanya kita tidak boleh sedih”. Aku mengangguk,
Adam terlihat berpikir-pikir lagi, matanya yang bulat melihat keatas.
“Ibu juga bilang, setiap yang diciptakan Allah punya
keistimewaan dan tujuannya masing-masing. Walaupun ia hanya sebutir pasir”.
Kata-kata yang indah, walaupun keluar dari mulut seorang bocah, tetapi
terdengar begitu berharga bagiku.
“Kakak tunggu disini, ya..Adam punya sesuatu”, ujarnya
tiba-tiba. Aku mengangguk dan melihatnya berlari masuk kedalam rumah gubuknya.
Beberapa menit kemudian ia keluar sambil tersenyum lebar, gigi-giginya yang
putih terlihat. Ditangannya ada sebuah majalah.
“Kakak lihat ini! Bagus, kan??”, tanyanya sambil menyodorkan
majalah itu kepadaku. Aku memperhatikan gambar yang ia tunjuk, sebuah gambar
dari bebatuan bumi yang berwarna-warni. Batu-batu itu terlihat bertumpuk dan
berkilat, ada warna hitam, kuning, putih, orange dan pink. Ketika aku membaca
penjelasan dibawahnya, betapa terkejutnya aku, ternyata itu bukan bebatuan
mulia seperi yang aku kira, melainkan pasir yang telah diperbesar sebanyak 110
kali dengan menggunakan mikroskop Edge 3D. Benar-benar menakjubkan!
“Kakak lihat, kan..ternyata pasir yang kecil itu
sebenarnya sangat indah, tetapi kita tidak bisa melihat keindahan itu dengan
mata kita, harus dengan bantuan alat. Ibu Adam bilang, kalau kita melihat semua
yang ada dibumi ini dengan mata saja, itu tidak cukup, kita juga harus
menggunakan otak dan hati agar semuanya terlihat indah”.
Aku tercengang mendengar ucapan Adam. Ia sangat
cerdas, semua yang diucapkan oleh ibunya ia dengarkan dan pahami baik-baik. Tak
hanya itu, ia mampu merealisasikannya dalam setiap gerakan hidupnya. Adam
benar-benar anak yang luar biasa. Terjawab sudah rasa penasaranku sejak nenek
bilang Adam adalah juara kelas yang sangat pintar. Ternyata benar, anak yatim,
miskin dan berkulit hitam ini memang seperti mutiara yang bersinar diatas
tumpukan pasir kesulitan yang dihadapinya. Ia adalah mutiara yang cahayanya
mampu menyinari dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya.
“Karena itu, kak..semua kesulitan di hidup kita juga
pasti ada keindahannya, jadi tak ada yang tak bisa disyukuri. Ibu Adam bilang,
kesulitan hidup itu seperti pelajaran, saat kita menghadapinya, kita mendapat
ilmu baru. Ia seperti mutiara yang ada didalam tumpukan pasir, tugas kita
adalah mencarinya”
Aku masih tak mampu berkata-kata lagi, sedikit tak
yakin bahwa kata-kata itu keluar dari mulut seorang anak berumur 6 tahun. Adam
pasti meniru dengan baik kata-kata ibunya. Tetapi yang paling menakjubkanku
adalah sikapnya yang bisa mengambil hikmah mutiara dari tiap kejadian hidup
yang ia lewati. Sungguh, aku terpesona dengan anak kecil kurus berkulit hitam
ini.
Maka mulai hari itu dan seterusnya, kisah hidup Adam
adalah kisah yang selalu aku nanti-nantikan untukku dengar, dan melihat tawanya
adalah hiburan paling kurindukan ketika berada di kampung nenekku. Maha suci
Allah, aku begitu bersyukur bisa mendapat pelajaran hidup dari anak kecil
bernama Adam. Semoga Allah terus menjaganya dan membuatnya tetap kuat dan
bahagia seperti saat ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)